Bebas Berekspresi dan Shuttle Bus

Published by ALAM on

Panggilan makan pagi atau yang lebih dikenal dengan sarapan membangunkanku dari tidur nyenyak di hari pertama di Jakarta. Ya ini hari Sabtu (7/7). Hari kedua FGD2012 yang juga hari dimana di Madura riuh dengan acara Blogilicious Madura. Semoga di Madura dan di Jakarta sama-sama lancar. Setelah sarapan mandi dan kemas-kemas shuttle bus termewah di Jakarta berwarna merah agak pekat dengan garis hitam dengan tulisan 75 di kaca depan sebagai tanda kalau ini adalah metro mini Pasar Minggu Manggarai.

Justru karena hal ini membuat blogger se-Nusantara lebih gampang dalam proses pengakraban diri. Metro mini menjadi media untuk melontarkan kalimat sakti yang membuat seisi metro mini berguncang. Daeng Ipul menjadi kernek bus metro mini menuju Jl. Duren Tiga Raya No.7 tepatnya di gedung IDC (Internal Data Center) Jakarta 3D. IDC ini memfasilitasi konten-konten lokal seperti detik.com, kompas.com, dsb untuk mempermudah akses ke konten lokal di Indonesia. Beberapa informasi tentang IDC bisa di akses di sini.

Unik. Mungkin kata itu saja yang bisa mewakili gedung IDC Jakarta 3D ini. mulai dari properti hingga desain gedung ini unik berbeda dengan gedung-gedung yang lain. Gedung pertemuan yang juga tempat menyimpan server-server besar nomor wahid di Indonesia. Saking kerennya, ada server yang harganya lebih dari 2 M!

Mas Donny BU mengawali hari kedua FGD2012 ini dengan sedikit introduction dan memanaskan otak kami yang seperti baru tersambung setelah meneguk kopi panas di pagi hari ini. Kemudian Mbak Hera Laksmi Dewi dari XL menjadi pemateri pertama yang memberikan materi. Beberapa hal yang menarik aku catat di buku catatan seperti ini:

Hari ini, social media bisa menjadi social movement. Karena begitu cepat dan mudah akses saat ini.

  1. Operator dengan akun twitter yang banyak follower bukan berarti hebat, hal ini justru akan menjadi tempat nyaman komplain bagi pengguna operator tersebut.
  2. Media sosial dan mobile phone merupakan perpaduan yang sangat menarik
  3. Intinya, mbak Hera ini mempresentasikan tentang hubungan mobile phone dalam hal ini sebagai operator (XL) dengan social media yang lagi booming saat ini.

 

Kemudian dilanjutkan dengan materi yang menarik, mungkin ini kali pertama saya mengikuti sesi seminar seperti ini yaitu membahas tentang HIV/AIDS. Mbak Ayu Oktariani menjadi narasumber dengan berbagai informasi baru tentang HIV/AIDS dan bagaimana beliau beserta teman-temannya memperjuangkan hak-hak para penderita HIV/AIDS yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia sekarang.

Dahulu saat belum ada internet atau saat awal-awal ada internet, mencari informasi tentang HIV/AIDS sangat susah. Di internet-pun yang ada hanya beberapa nama latin yang tidak cukup dimengerti oleh para pencari informasi tentang HIV/AIDS ini. Quote yang saya catat adalah kita tidak boleh membenci penderita HIV/AIDS, apalag kalau sampai mendeskriminasikannya.

Salah satu kasus menarik adalah ketika ada seorang anak penderita penyakit mematikan ini ingin melanjutkan sekolah, tapi karena diketahui menderita penyakit ini, pihak sekolah menolak!. Alasannya simpel karena takut menular ke teman-temannya. Hal ini karena guru-guru di sekolah itu tidak banyak mengetahui tentang bagaimana penularan penyakit HIV/AIDS.

 

Singkat cerita, masyarakat mendiskreditkan sekolah itu. Ini tentang deskriminasi yang aku ketik di atas. Meski sekolah menarik ucapannya dan mau menerima, tapi keluarga anak itu terlanjur terdeskriminasi dan akhirnya tidak memperbolehkan anaknya untuk sekolah. Sekarang siapa yang salah kalau begini? Okelah jangan saling menyalahkan! Terus bagaimana cara agar hal ini tidak terjadi lagi?. Indonesia AIDS Coalition (IAC) akan menjawab tantangan tersebut. IAC melalui mbak Ayu adalah tolong sebarkan informasi positif ini kepada semua orang, bahwa penderita HIV/AIDS itu berhak menjadi seperti orang normal. Mulai mendapatkan informasi sampai mendapatkan pendidikan.

Dandhy Laksono hadir menyambung Mbak Ayu. Tapi kali ini topiknya tentang kebebasan berekspresi dalam pers dengan slide materi yang berjudul Industrialisasi Media. Om Dandhy mengawali presentasinya dengan video.

Menurutnya biarkanlah kamera yang berbicara!. Video itu menceritakan bagaimana dahulu kebebasan berekspresi itu sangat sulit. Bahkan ada yang dipenjara hanya gara-gara menerbitkan majalah tanpa izin dari Dinas Penerangan. *apah? Dinas Penerangan?*, nama Dinas Penerangan masih belum pernah aku denger sebelumnya. Dinas ini terakhir diterapkan sampai tahun 1992. *yah umur saya baru 2 tahun noh!*.

Sebagai Jurnalis, om Dandhy sangat hafal atas segala sejarah tentang kebebasan berekspresi di dunia Jurnalistrik di Indonesia jauh sebelum boomingnya blogger di Indonesia. Sampai saati ini-pun media mainstream masih sangat menguasai dalam mempengaruhi masyarakat. Pun dahulu kita tidak punya media untuk bebas berekspresi. Sangat sulit untuk menulis sebuah kebenaran. Munculnya media sosial merupakan sebuah durian runtuh bagi masyarakat. Karena media sosial di internet khususnya seperti FB, Twitter, Blog, dsb merupakan tempat yang sangat nyaman untuk mengungkapkan pendapat, ide ataupun keluhan, ujar Om Dandhy.

Salah satu bentuk social movement yang sangat fenomena adalah Jembatan Indiana Jones di Banten beberapa waktu yang lalu. Seperti dilansir Tempo.co berikutHasil jepretan wartawan foto Reuters Beawiharta yang mendokumentasikan rombongan anak sekolah melewati jembatan gantung Indiana Jones di desa Sanghiang Tanjung, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis pekan lalu menuai respon luar biasa. Foto yang diunggah di akun twitter, blog, serta facebook oleh Bea mendapat respon mengejutkan. Ada lebih dari 1200 orang men-share foto itu. Bahkan kantor berita luar negeri seperti Daily News juga memuat foto itu.

Akibatnya seluruh dunia heboh dengan jembatan yang diceritakan seperti film Indiana Jones, jembatan akan roboh kalau ada yang melintasi. Isu seperti ini, Om Dandhy mengatakan adalah sebuah packaging yang sempurna. Wartawan Reuters sangat cerdas untuk memberikan judul foto ini Indiana Jones, sebuah bahasa universal yang bisa diterima siapa saja di dunia. Karena isu itu begitu dahsyat di dunia maya, akhirnya jembatan itu diperbaiki oleh pemerintah. Nah, apakah harus seperti ini dulu baru bisa membuat pemerintah menoleh dan berbuat suatu perubahan? Mungkin saja!, mengutip kalimat penutup Mbak Shita Laksmi dalam presentasinya adalah Kita (sebenarnya) bisa melakukan perubahan tanpa bantuan siapapun!

Selain Mbak Shita Laksmi juga hadir memberikan sharing kepada blogger yang hadir dari Google Lokmant Tsui yang sharing tentang kebebasan berekspresi di berbagai dunia juga untuk seluruh pengguna internet. Google sangat memerhatikan kebebasan berekspresi setiap pengguna internet, google akan menghapus dari index-nya artikel yang dibuat dengan acara repost atau duplicate post.


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

3 Comments

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.