Mandi Oksigen Giliyang

Published by ALAM on

Di suatu dini hari di Giliyang. Peserta dan Panitia #MenduniakanMadura masih bergelut dengan mimpinya. Suasana sunyi dan hening, kecuali suara dengkuran dari beberapa peserta pria. Semilir angin laut pun berhembus di sekitar homestay. Hujan tadi malam membuat cuaca dini hari ini semakin sejuk.

Aku terbangun dan melihat jam di ponsel baru pukul tiga pagi. Badan masih terasa berat untuk sekadar duduk. Mata ini pun tak kuasa untuk terpejam lagi, meski telinga masih bisa mendengar percakapan tiga orang teman di depan homestay. Mereka berencana berangkat menengok titik oksigen yang masih rahasia. Dari percakapan itu ada kata kunci yang membuatku ingin membuntutinya: titik bermandikan oksigen.

Ya. Bermandikan oksigen!

Dua kata itu membuat tubuhku langsung bersemangat. Namun ternyata masih berat untuk bangun. Bahkan aku tak mampu untuk sekadar mengatakan “tunggu!” kepada ketiga teman itu.

Tak lama setelah mereka berangkat ke titik bermandikan oksigen. Aku memaksakan diri untuk bangun, berwudhu dan sholat isya. Setelahnya, tanpa pikir panjang aku bergegas menyusul Mas Fadel dan kedua temannya. Menurutku, ini momen langka yang tak bisa didapat setiap hari. Karena waktu terbaik untuk merasakan oksigen di Giliyang adalah dini hari, antara pukul satu hingga sebelum subuh. Jelas, kesempatan seperti ini belum tentu hadir esok hari. Karena biasanya trip ke Giliyang hanya diadakan sehari tanpa menginap.

Aku pun mengikuti jalan ke arah mereka pergi. Aku tertinggal jauh sepertinya. Khawatir salah jalan, kutelpon Mas Fadel dan meminta memberikan ancer-ancer menuju lokasi. Menurutnya aku harus belok ke kiri jika ada pertigaan paving ke arah timur. Aku terus berjalan ke arah selatah meninggalkan homestay. Terlihat beberapa rumah warga yang hanya menggunakan satu lampu penerangan yang sudah redup. Tak adanya listrik, membuat kawasan Giliyang minim penerangan.

Beberapa detik kemudian aku melihat pertigaan, terlihat juga empat kuburan berwarna putih di pinggir jalan. Bulu romaku sedikit berdiri, tapi aku terus melangkah dan berusaha tetap tenang.

Suasana masih gelap dan hening. Hanya cahaya dari bantuan senter dari ponsel yang membantu penglihatan. Setelah belok ke arah timur, situasi menjadi berbeda. Sekarang aku berjalan di tengah-tengah ladang dengan perpohonan yang lebih lebat. Tak terlihat tanda-tanda rumah warga di pinggir jalan.

“Mas, aku sudah sampai jalanan yang menanjak, benar ya ini mas?”

“Ya, benar kamu itu. Terus berjalan sampai ke ujung jalan berpaving”

“Kok semakin lama, pepohonan semakin rimbun dan semakin gelap ya mas?”, aku mulai ragu dan sedikit panik.

Sambungan telpon dengan Mas Fadel sengaja tidak aku matikan untuk memastikan aku berada di jalan yang benar. Pun untuk mengurangi rasa takut berjalan seorang diri di tengah kegelapan.

“Coba kamu lihat di ujung jalan, ada cahaya lampu senter hape, aku sudah sudah melihatmu”, ujar Mas Fadel di ujung telpon.

Aku mulai agak tenang sambil melirik ke kanan dan kiri, sensor kedua mataku mencari-cari titik cahaya senter.

Ketemu!

Aku matikan sambungan telpon dan berjalan lebih cepat ke arah Mas Fadel dan kedua temannya. Mereka terlihat berdiskusi setengah berbisik sambil duduk di atas tanah.

‘”Ca’na Lapan neng kanna’ areya amandi oksigen”, temen Mas Fadel memulai bercerita.

Selama enam bulan LAPAN menyusuri semua lokasi di Giliyang. Mereka menemukan beberapa titik yang mempunyai kadar oksigen lebih tinggi dari titik yang lain. Jika titik tersebut ditengarai sebagai titik oksigen, maka LAPAN akan datang beberapa kali ke lokasi tersebut untuk memastikan apakah benar-benar mempunyai kadar oksigen tinggi.

Begitulah menurut cerita teman Mas Fadel. Bahkan di lokasi yang sekarang sedang kami kunjungi, merupakan titik untuk bermandikan oksigen. Namun, dengan alasan tertentu, LAPAN tidak memberikan tanda khusus seperti di beberapa titik oksigen lainnya.

Aku mencoba rileks dan menghirup udara di lokasi tersebut.

“Ah, sama saja menurutku, mas! Ini kan seger karena semalam habis hujan dan juga karena dini hari. Di mana pun juga bakal seperti ini udaranya.” Protesku ke Mas Fadel.

“Bukan dihirup, tapi coba kamu rasakan di tubuhmu, akan ada seperti udara yang menyentuh tubuhmu secara perlahan.” Jelas Mas Fadel

Aku diam. Mencoba merasakan udara tersebut sambil menutup mata. Di pinggir jalan itu aku merasakan seperti ada semilir udara dari sisi kiriku. Mirip seperti udara dari pendingin ruangan, namun hanya berkadar seperempatnya. Udara itu menelusuk ke dalam kaos secara tipis, amat lembut dan terus menerus.

“Benar, mas. Aku merasakannya. Sepertinya oksigennya ada di sebelah kiriku”

Mengikuti apa yang aku rasakan. Kami pun berpindah dari pinggir jalan menuju ke tengah ladang yang berada di sisi kiriku. Aku mengikuti Mas Fadel membuka bajunya. Mungkin hanya kami yang berada di tengah ladang dengan bertelanjang dada saat dini hari begini.

Aku mencoba menghirup udara segar di sekitarku. Perlahan-lahan, rileksi dan menikmatinya. Hingga aku pun lupa untuk mengambil satu foto pun.

Inilah Giliyang. Pulau dengan kekayaan tak biasa. Kekayaan oksigennya harus dinikmati sebagai wujud rasa syukur. Satu lagi kekayaan luar biasa di timur Pulau Madura.

tiok

Beginilah kondisi di titik tersebut jika pagi hari. Modelnya si cinta. Baca tulisan si cinta di sini


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

2 Comments

Lisna · January 31, 2017 at 17:29

Duh jadi ikut bayangin segarnya bermandi oksigen mas,hahaha.

Lisa Maulida R · January 27, 2017 at 12:24

Untung ya lupa ga ambil foto.. Ya masa’ ambil foto pas ga pake baju.. Deennngggg

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.