Mencari Merlion di Singapura

Published by ALAM on

singapura - wahyu plat-m

“Kok aku lupa ya dimana keluarnya.” Katanya.

Mungkin karena waktu ke Singapura beberapa waktu lalu ia turun di terminal 3, sekarang yang kami lewati adalah terminal 2. Wajarlah jika dia bingung.

Selanjutnya kami harus melewati pemeriksaan imigrasi di Singapura. Kami harus mengisi formulir. Intinya kami harus menulis dimana kita menginap dan akan tinggal berapa hari di Singapura. Menurut Kapten Kemal, kami diminta menuliskan Prince of Wales di tempat menginap. Kami mengikuti instruksi kapten Kemal.

Ica, Tri, Kemal dan aku lolos pemeriksaan imigrasi dan akhirnya pasporku distempel. Tulisan ‘Singapore’ di kertas paspor itu sangat mahal bagi orang dari desa sepertiku.

Kami kaget saat menoleh ke belakang, Saide tidak ada di tempat. Kami kebingungan. Kemal sudah menduga, kami bertiga sempat berdiskusi tentang ketatnya imigrasi di Singapura. Wajah Saide yang seperti orang Arab, rentan terhadap pemeriksaan. Aku banyak tahu hal ini dari buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor, ada banyak kisah dan cerita perjalanan ke luar negeri di buku itu. Jadi aku ngga terlalu khawatir akan hal yang menimpa Saide, paling buruk ya paling diintograsi sembilan puluh menit. Dan minta buka baju dan sepatu.

Untunglah, senyum kecut Saide sudah terlihat di antrian.

Benar dugaan kami, foto Saide dan wajah aslinya tidak cocok. Di paspor, foto Saide berjenggot dan memakai peci, di wujud aslinya jenggot dan kumisnya sudah dicukur habis sehari sebelum berangkat.

Saide memang punya masalah foto saat pengurusan visa. Ia seperti menggunakan kamera ponsel saat mengirimkan foto untuk pengurusan visa. Alhasil, ia harus berfoto lagi dan mengirimkan ulang ke Taipei economic and trade office (TETO) di Jakarta.

“Makanya, kalau ngga ada kamera bagus di Riau, foto di Jawa saja.” Seruduk Fika.

“Kalau ngga ada kamera bagus di Jawa, ke Madura saja.” Ujarku mantap. Kami berempat tertawa puas membully Saide sambil menuruni tangga menuju tempat pembelian tiket Mass Rapit Transit (MRT)

Bandara ini terhubung dengan yang berada di bawah tanah. Sistem angkutan cepat yang membentuk tulang punggung dari sistem kereta api di Singapura dan membentang ke seluruh negara kota ini. Bagian pertama dari MRT ini, antara Stasiun Yio Chu Kang dan Stasiun Toa Payoh, dibuka tahun 1987 dan menjadi sistem angkutan cepat tertua kedua di Asia Tenggara, setelah Sistem LRT Manila.

Kami harus menuruni eskalator dua lantai untuk sampai di tempat pembelian tiket. Untuk membeli karcis masuk, kami harus menggunakan mesin. Mesin yang pintar matematika, karena bisa memberikan kembalian. Tiket MRT juga dapat dibeli menggunakan kartu pintar nirkontak EZ-Link dan NETS FlashPay yang berbasis Symphony for e-Payment (SeP) untuk transportasi publik dari sistem Singapore Standard for Contactless ePurse Application (CEPAS). Semacam BCA Flazz gitu.

Momen pertama kali pasti akan memberikan kesan bingung. Meski sebenarnya sudah ada petunjuk yang jelas, namun ada antrian yang menunggu membuat panik begitu mudah datang. Itulah yang aku tangkap dari bahasa tubuh Kemal. Dengan menyontek orang di sebelah, akhirnya kami bisa membeli tiket ke Merlion South Pier.

Tak ada tujuan lain selain silaturahim ke patung Singa putih yang melegenda itu. Merlion atau Singa laut (鱼尾狮; Yúwěishī) adalah patung yang berkepala singa dengan badan seperti ikan. Namanya merupakan gabungan dari ikan duyung dan singa. Merlion dirancang oleh Fraser Brunner untuk Badan Pariwisata Singapura (STB) pada 1964 dan dipergunakan sebagai logonya hingga 1997.

Oleh karena itu, tujuan pertama kita stasiun Merlion South Pier. Kami ikut apa kata Kapten Kemal!

Marina South Pier ini tujuan terakhir untuk MRT di jalur merah N5. Dari bandara Changi, kami mengikuti jalur EW yang berwarna hijau ke Tanah Merah (EW4). Dari stasiun EW4 kami menuju Raffles Place (EW14) kemudian pindah ke jalur merah NS26 untuk menuju NS26 atau stasiun Merlion South Pier.

Stasiun ini sepi, berbeda dengan di stasiun sebelumnya. Kami harus jalan kaki cukup jauh untuk bisa pergi ke pintu keluar.

Saat kami keluar. Perasaanku tidak enak. There is something loss. Setahuku, saat aku lihat di Google Street View, kawasan Merlion itu dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit yang cukup padat. Di tengahnya ada danau dengan pemandangan yang indah. Setidaknya aku juga pernah melihat di film Mestakung. Tapi di tempat ini, tak ada gedung tinggi, apalagi Merlion.

‘Kemal, dimana Merlionnya?

Diam. Tak ada jawaban. Sepertinya kita salah stasiun.

Oke fine, kita nyasar!

“Kalian harus nyasar! Jadi tugas kuliah ini adalah tugas nyasar di negeri orang.” Aku merasa berada di depannya Profesor Rhenald Kasali. Ia mengadakan tugas ‘aneh’ untuk semua mahasiswanya. Tugasnya adalah nyasar di negara orang. Satu orang satu negara. Jika di kelas ada 30 orang, maka akan ada 30 negara. Tugas ‘aneh’ yang menarik. Lengkapnya ada di buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Sekarang aku seperti sedang menjalani tugas ‘nyasar’ dari Pak Rhenald.

Tak ada jalan lain jika kalian nyasar selain bertanya. Aku memberanikan diri untuk bertanya ke petugas berseragam. Ia sepertinya dari India. Aku bertanya di stasiun apa kami harus turun jika mau ke Merlion.

“You should go to Raffles Place Station, the station after Marina Bay.” Jawabnya dengan logat India sambil menggoyangkan kepalanya ke kanan – ke kiri. Khas India.

Karena sudah sampai jauh di ujung terminal MRT, kami memanfaatkan untuk berfoto di kawasan pelabuhan.

Kami harus kembali berjalan menuju pintu masuk stasiun. Begitu jauh. Aku mulai merasa salah kostum. Seharusnya aku pakai celana pendek yang sandal Eiger saja. Aku lebih mirip mau pergi presentasi daripada mau jalan-jalan. Aku ulangi: jalan-jalan, iya benar-benar jalan kaki.

Stasiun Raffles Place begitu ramai. Pantas saja jika ini adalah pusat kota. Berbagai wajah terlihat lebih berwarna. Ada Melayu, China, India, Eropa atau bahkan Afrika. Semuanya terlihat lalu-lalang di stasiun ini. Kami tiba saat jam pulang kerja. Sepertinya kami berpapasan dengan semua karyawan yang bekerja di ‘atas’ sana.

Sesampainya di atas. Kami sudah percaya, kalau kami sudah berada di kawasan yang benar. Ada gedung pencakar langit berdesak-desakan. Ada danau juga kawasan yang bersih. Tapi ya tetap kalau puntung rokok, masih terlihat di beberapa sudut. Kami mendekat ke arah danau. Pandangan kami terhalang tenda putih. Entah apa cita-cita dari orang yang memasang tenda putih di tengah jalan. Aku yakin patung Merlion itu ada di balik tenda putih. Ingin berjalan cepat, tapi jelana jeans dan sepatu pantofel ini membuat langkah berat. Aku berjalan lebih cepat demi melihat Merlion

Dan tidak ada Merlion!

Di balik tenda putih hanya danau dan gedung. Bukannya Singapura ini negara kecil, tak sebesar Madura. Mungkin lebih besar kabupaten Bangkalan daripada Singapura. Tetapi mengapa kami begitu sulit untuk mencari Merlion. Entah dosa apa yang sudah kami perbuat. Aku malas buka Google Maps. Aku akan gunakan baterai 13% ini untuk berfoto di depan Merlion saja.

Wahai Merlion, dimanakah engkau.

Kemal bertanya ke orang yang lagi bersantai di pinggir pantai. Aku jgua bertanya ke orang yang lagi sibuk sama kalkulatornya. Mungkin aku mengganggu konsentrasinya menghitung hutang. Maafkan kami, Sir!

Menurut informasi dari dua orang. Kami harus berjalan kaki lagi. Ngga jauh, Cuma dua kilometer saja. Ingin rasanya aku berganti pakaian saja. Tapi semua baju dan sandal ada di bagasi. Mereka masih beristirahat di bandara.

“Itu lho, mas, Merlionnya! Sana kalau mau foto-foto. Aku sih sudah biasa” ujar Kemal senang.

Ia sudah berhasil membawa kami ke destinasi utama dalam perjalanan ini. Meski nyasar-nyasar ria, namun setidaknya ia telah berhasil. Matorsakangkong, Kemal!

singapura - berlima

Inilah patung simbol negeri Singa. Air yang meluncur dari mulutnya memberikan daya tarik tersendiri. Banyak kembarannya, namun di sinilah patung yang asli. Tak terhitung sudah berapa juta orang yang memakai patung ini sebagai foto profil di media sosialnya. Dengan berbagai pose dan angel, kami mengambil foto dari berbagai sisi.

Aku sudah mengukur dan menimbang patung ini. Tingginya hanya 8,6 meter dan beratnya Cuma 70 ton. Kami harus berterima kasih kepada Lim Nang Seng yang berbaik hati membangun patung Merlion. Jangan percaya kalimat pertama di paragraf ini ya.

Kami menghabiskan sore tepat di bawah patung Merlion. Berlima seperti anak yang hilang. Tak berani membeli makanan karena dijamin akan menyesal seumur hidup. Namun karena haus tak tertahankan, akhirnya aku memutuskan membeli dua air mineral ukuran sedang di gerai belakang merlion. Harganya? Kalau beli di Indonesia, dengan barang yang sama, satu botol di Singapura, akan dapat sepuluh di Indonesia. Tahu begini bawa air galon dari Indonesia dan diisi di bandara Changi.

Menghabiskan sore akan lebih romantis jika bersama pasangan. Melihat kawasan danau dengan latar Marina Bay Sands, Esplanade Theatre, Marina Bay Floating Platform, dan The Promontory ditambah lalu lalang perahu pariwisata, membuat pengat setahun lenyap.

Sudah pernah ke sini? Pasti sudah!


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

5 Comments

myshoesmysoul · April 1, 2016 at 11:01

wah enak ya jalan2 terus 😀

Fahmi (catperku) · September 27, 2015 at 09:26

asiik! akhirnya ketemu merlion ya mas 😀

Silviana Noerita · September 23, 2015 at 16:47

ah mas Wahyu. Mainnya semakin jauh saja 😀

Leave a Reply to myshoesmysoul Cancel reply

Avatar placeholder