Menjadi Madura di Atas Kapal Ferry

Published by ALAM on

wahyualam com - ferry madura surabayaCagak motor aku naikkan. Motorku terparkir dengan sempurna. Aku mengambil kunci motor dan memastikan telah terkunci semua. Aku naik ke lantai dua. Tempat penumpang berkumpul dan menunggu kapal ferry berangkat.

Pagi itu aku ada di atas KMP Selat Madura II. Berbeda dengan kapal yang dahulu, sekarang kapal ferry di selat Madura bentuknya kecil dengan kapasitas seadanya. Berbeda dengan zaman saat belum ada Suramadu. Masih banyak kapal ferry yang berkapasitas besar. Bahkan ada yang sampai berlantai empat.

Tak ada lagi truk besar pengangkut bahan makanan yang menyebarang. Tak ada lagi bis pariwisata yang naik. Tak terlihat truk Fuso pengangkut bahan bangunan. Yang terlihat sekarang hanya beberapa mobil dan motor memenuhi kapal. Sesekali truk pengangkut tebu lalu-lalang memanen tebu di daerah Bangkalan.

Kini, naik kapal tak perlu berdesakan seperti dahulu, apalagi sampai mengantre sepanjang lebih dari lima kilometer. Beberapa bagian pelabuhan tak lagi digunakan. Bahkan beberapa merchant terkenal hengkang melupakan pintu masuk ke Madura. Dahulu inilah pintu masuk utama ke pulau garam. Semua orang yang ke Madura pasti pernah menaiki kapal ferry. Sekarang menjadi ajang untuk bernostalgia, mengingat kembali kenangan masa lalu, menaiki kapal penyeberangan dari Surabaya ke Madura.

wahyualam com - kapal ferry penyeberangan surabaya madura
Angin semilir menembus lorong-lorong kapal. Aku duduk di kursi penumpang. Hanya ada satu aktivitas yang bisa kulakukan jika di atas kapal ferry, yaitu nonton televisi. Masyarakat Madura suka musik dangdut. Berdosa sekali jika armada kapal tidak menyetel lagu dangdut dari orkes melayu ternama. Beberapa VCD dari Palappa, Putra Buana dan Monata wajib ada. Jika tidak, artinya tidak ada hiburan bagi penumpang.

Menyetel VCD menjadi pilihan, karena jika menonton televisi dengan antena UHF, layar televisi akan berubah menjadi sarang semut saat berada di tengah laut. Tidak jelas. Berbeda jika memutar VCD orkes dangdut. Gambarnya tetap jernih dan penonton akan lupa dengan waktu 24 menit: waktu tempuh Surabaya – Madura.

Aku melihat pagi itu cuaca mendung. Awan berkabut menghalangi pandanganku ke timur. Terlihat Suramadu seperti berwarna abu-abu tenggelam di tengah gulungan kabut. Sedikit bias matahari memberikan warna jingga di langit timur. Air laut beriak-riak tenang dari utara ke selatan.

Terlihat seorang warga Madura dengan kulit legam cokelat menghitam di pinggir dek. Ia menghisap sebatang rokok dan menyemburkan asapnya keluar. Raut mukanya menggambarkan ketangguhan. Begitu khas raut muka lelaki Madura. Tegas, berani dan tangguh.

Sesekali juga terlihat beberapa pengemis dan anak-anaknya yang menjadikan kapal ferry sebagai rumah keduanya. Di sinilah mereka mencari rezeki. Sudah menjadi ladang penghasilan baginya. Pun tak sedikit terlihat pedagang dari Madura yang baru pulang dari Surabaya. Ia menjual hasil bumi dari Madura ke kota seberang. Sekecil apapun hasilnya, mereka tetap melakukan hal ini. Sejak dulu. Puluhan tahun yang lalu.

Di atas Ferry inilah, kita dapat belajar mendengar, melihat dan merasakan bagaimana menjadi orang Madura. Buka headsetmu, taruh ponselmu, lihatlah, dengarlah, dan rasakanlah semua yang terjadi di sekitarmu. Coba bayangkan jika kita menjadi mereka, menghadapi kerasnya kehidupan, bisakah kita bertahan seperti mereka. Masihkah kita akan tetap tersenyum lepas seperti mereka.

Waktu dua puluh empat menit kita sudah bisa belajar begitu banyak pelajaran. Begitulah warga Madura mengajari kita, tentang kerja keras, ketangguhan dan ketegasan menghadapi kehidupan.

Jika kalian sudah naik kapal ferry, maka rasakan seolah ada yang mengatakan: Selamat datang di Madura!


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder