Menjelajah Destinasi Anti-Mainstream di Bali

Published by ALAM on

DSC_4518

Berapa kali pun menelusuri keindahan Bali, maka tak ada sedikit pun merasakan bosan. Awal Nopember yang lalu, aku sekali lagi menjelajah Bali. Kali ini terasa lebih istimewa, karena menjelajahnya barengan dosen ITS dan Presiden AIS Dunia. Mulai dari melihat pertunjukan, mencoba kopi luwak, hingga menelusuri Pura Tirta Empul. 

Hari Minggu siang aku sudah di Bali, hingga Selasa adalah waktuku bekerja. Ditugasi menjadi event manager AISINDO di Hotel Sanur Paradise Plaza, tak banyak tempat yang bisa aku kunjungi. Meski hanya sepelemparan batu dengan Pantai Sanur, namun tanggung jawab tidak bisa ditinggal. Barulah di hari Rabu, ada waktu khusus melepas penat setelah tiga hari menyiapkan acara ISICO/SESINDO 2017.

Aku beruntung dapat mendapat kesempatan mengikuti agenda city tour mereka. Itu artinya aku akan berwisata dengan dosen-dosen prodi Sistem Informasi ITS sekaligus Presiden Asosiasi Sistem Informasi Dunia, Prof Matti Rossi. Ia datang ke Bali bersama istri dan anaknya. Ini semacam berwisata dengan kelas VIP. Bis tak terisi penuh, tempat yang dikunjungi tak begitu padat, dan isinya adalah orang-orang keren semua. Aku sedikit sungkan, apalagi kebanyakan dari mereka adalah dosen-dosenku waktu kuliah dulu.

DSC_4497

Agenda pertama berkunjung ke Desa Batu Bulan. Kami datang ke salah satu tempat pertunjukan untuk menonton Tari Barong. Ada banyak sesi drama musikal di sini. Pertunjukannya menceritakan tentang dongeng masyarakat Hindu Bali. Ketika di sana kami diberi leaflet yang berisi narasi pertunjukkan, tinggal baca dan menyocokkan dengan narasi drama yang terjadi di depan kita. Pertunjukkan pun usai setelah berlangsung sekitar 90 menit.

Perjalanan dilanjutkan ke Desa Celuk. Di sana kami diajak melihat karya seni perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Dari atas bis, aku sudah melihat banyak rumah yang dijadikan toko emas. Sepertinya memang desa ini adalah sentra kerajinan emas dan perak di Bali.

Tak begitu menarik bagiku, karena perhiasan dijual di atas satu juta. Sebanding dengan modelnya yang bagus. Mungkin bagi Istri Prof Matti Rossi ini sangat menarik, namun bagiku, cukup untuk dilihat saja. Aku justru lebih asyik berbicang dengan anaknya Prof Matti, namanya Sammock. Ia selalu menjawab pertanyaan yang kami lontarkan dengan jawaban lebih dari dua kalimat. Sepertinya ia sudah biasa berdiskusi dengan orang luar negeri.

DSC_4522

Baru di Goa Gajah aku merasakan keindahan Bali yang begitu kaya dengan kekayaan peninggalan masa lalu. Namanya memang Goa Gajah, bahkan ada patung gajah di sekitar parkiran mobil. Namun jangan harap melihat goa berbentuk gajah, apalagi berharap banyak hewan gajah berkeliaran.

DSC_4503

Menelusuri Goa Gajah membuat kita akan merasa di masa kerajaan Hindu di masa lalu. Untuk masuk ke kawasan ini, harus bercelana panjang. Jika kamu menggunakan celana pendek, maka harus menggunakan sarung yang dapat pinjam di pintu masuk. Jalanan menuju Goa Gajah ini menurun, jadi sebaiknya kalau ke sini jangan lupa pakai sandal dan sepatu yang nyaman.

Menurut tour guide, di desa ini ada peninggalan dua kerajaan sekaligus: kerajaan Hindu dan Budha. Entah mengapa aku tak mempedulikan sejarah yang dilontarkan di tour guide. Terlalu pusing untuk diingat. Bagiku menikmati suasananya dengan khusyu’ lebih penting daripada menghafal sejarah dari setiap sudut tempat ini. Ada beberapa arca tercecer begitu saja di salah satu sudut. Kemudian aku turun ke peninggalan kolam, sepertinya umurnya sudah ratusan tahun, terlihat dari tebalnya lumut di beberapa dindingnya. Aku hanya ingin mencuci tangan dan membasuh muka di air pancuran yang mengalir dari mulut patung yang menyeramkan. Namun airnya sangat jernih dan segar.

Rasanya tidak lengkap tidak masuk ke Goa Gajahnya. Aku pun menelusuri goa sendirian, terpisah dengan rombongan. Goanya berada di bawah tebing. Samar-samar aku mendengar penjelasan setiap bagian-bagian goa ini dari tour guide yang sedang bekerja. Setiap dua-tiga tamu ada satu tour guide yang menjelaskan. Di dalamnya ada beberapa patung, yang aku kenal adalah patung Ganesha seperti logonya ITB. Namun karena pengap dan bau kemenyan yang menusuk, aku tidak tahan untuk berlama-lama di dalam.

DSC_4515

Aku mengejar rombongan yang sudah bergerak ke sisi yang lain. Kali ini kami harus menuruni beberapa anak tangga lagi. Terdengar suara air terjun mini yang menyejukkan telinga. Suasananya sangat sejuk, asri dan begitu hijau. Aku mengabadikan beberapa momen di sini. Salah satunya momen favoritku adalah ketika Presiden AIS Dunia dan Presiden AIS Indonesia memotret anaknya yang saling bersahabat.

Di kawasan ini pula aku melihat beberapa tour guide yang mampu berbahasa Meksiko, Mandarin dan Jepang. Aku menyimpulkan tour guide di Bali tidak sekadar fasih bahasa Inggris saja, tetapi setidaknya menguasai bahasa asing lain yang dapat membantu mereka bekerja.

DSC_4535

Berpose dengan Sammock

Perjalanan dilanjutkan ke arah utara. Hamparan tumbuhan hijau tersaji dari balik kaca bis. Sesekali hujan menemani perjalanan kami. Hingga akhirnya kami makan siang di restoran Kintamani. Catat ya, nama restorannya Kintamani. Namanya sesuai dengan nama kawasannya. Istimewanya restoran ini, selain makannya prasmanan, restoran ini punya gedung paling tinggi dibanding yang lain. Waktu aku ke sana kemarin, gedungnya memang belum jadi, namun dari gedung lantai lima ini kami mendapatkan pemandangan terbaik untuk menyaksikan Danau Batur dari atas. Bahkan sesekali, Gunung Agung menampakkan diri dari balik awan tebal yang menyelimuti kawasan ini.
Baca Juga: 

Berselimut Kabut di Kintamani

DSC_4546

Agriculture Coffee Luwak. Begitu sampai di tempat ini, seperti akan masuk ke hutan. Jalan akses dari parkir menuju kafenya dibuat sedemikian rupa sehingga kami seolah-olah akan masuk ke hutan. Untungnya jalannya sudah diberi batu alam, sehingga tidak becek. Waktu kami datang, suasana di sana sedang basah. Dedaunan pun masih meneteskan sisa-sisa air hujan.

DSC_4554

Tester kopi

DSC_4553

Prof Matti Rossi dan Pak Tony Serius Berdiskusi

Kami ditunjukkan bagaimana pengolahan kopi luwak dari awal. Bahkan kami diberikan tester gratis. Setelah mencoba, kami dipandu ke tokonya yang sudah menyediakan berbagai macam kopi. Sayang, harganya masih sangat mahal. Cocoknya tempat ini memang dikunjungi oleh turis mancanegara. 100gr kopi luwak harganya 300 ribuan, bahkan sebungkus merica diharga 100 ribu. Akhirnya aku hanya menikmati panorama di sekitar kafe.

Tempatnya yang dibuat dari kayu membuat sedap dipandang mata. Selain itu, karena terletak di lereng tebing, kami dapat melihat pemandangan hijau di bawah. Mirip seperti kawasan Maokong di Taiwan. Jika ingin menikmati kopi premium dan menyepi dari keramaian, silahkan datang ke tempat ini.

Baca Juga: 

Maokong, Kombinasi Perbukitan, Kafe, Teh dan Gondola

DSC_4595

Meski waktunya sudah hampir habis, namun agar sesuai jadwal, Pura Tirta Empul akhirnya diputuskan dikunjungi. Sama seperti di Goa Gajah, di tempat ini semuanya wajib menggunakan sarung. Khas tempat ibadah, tempat ini memberikan aura berbeda. Aku dapat merasakan kekhusyu’an orang Hindu beribadah. Aku ngga hafal setiap nama di wilayah ini, tapi aku tertarik melihat air mancur dari 11 kelapa ikan. Airnya begitu jernih, bahkan dataran paling dasar pun aku dapat melihatnya. Ada makna di setiap 11 pancuran, namun aku lupa apa saja maknanya. Aku hanya mencium bau dupa dan melihat beberapa orang beribadah dengan begitu khusyu’. Salah satu ritual ibadahnya adalah membasuh muka di sembilan pancuran, karena ada dua pancuran yang dikeramatkan dan ngga boleh membasuk muka di sana.

Di salah sudut Pura Tirta Empul

Di kawasan ini juga ada istana presiden. Namanya Istana Tampaksiring, istana yang dibangun setelah Indonesia merdeka, yang terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Istana ini berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang hawanya sejuk jauh dari keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara.

Berkas:Holy Water Temple Ubud, Bali, indonesia - panoramio (9).jpg

Istana Tampaksiring, di atas bukit, dilihat dari Pura Tirta Empul 

Setelah melihat Istana Tampaksiring dari bawah, aku melihat kolam yang mengalir dari bawah ke atas, seperti terdapat beberapa sumber di dalamnya. Kolam ini disucikan oleh umat Hindu di Bali.

Tour guide menjelaskan semua tempat, sejarah setiap sudut, dan fungsi setiap bangunan. Namun aku lupa, aku sibuk dengan menikmati setiap sudut arsitektur tempat ini. Menikmati lalu lalang wisatawan yang hilir mudik bergantian dengan umat Hindu yang sedang beribadah. Kerukunan antar umat beragama terlihat di sini. Dari tiga kawasan di Pura Tirta Empu, hanya dua kawasan yang diperbolehkan dimasuki wisatawan.

Kemudian saat kembali ke parkiran, kami dilewatkan satu kolam besar yang berisi ribuan ikan koi. Warna warni ikan dan bergerak-gerak di dalam air membuat hati dan pikiran sejuk. Seperti melihat lukisan ikan koi di Pasar Sukowati berubah menjadi nyata.

Dan kami pun kembali ke hotel. Sebelum resmi mengakhiri perjalanan, Krisha menjadi tempat membeli oleh-oleh untuk orang tersayang di rumah.

Semua tempat yang masuk ke itinerary di atas adalah tempat baru bagiku. Hanya Khrisna yang pernah dimasuki. Sisanya adalah tempat baru, sehingga banyak kesan baru, pengalaman baru, pengetahuan baru.

Sekali lagi, tak akan ada rasa bosan untuk mengekplor Bali. Sampai jumpa lagi, Bali!

Foto selengkapnya di album ini:
Bali, November 2017


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

2 Comments

Andrew Pradana · December 18, 2017 at 15:31

kira kira kalau untuk transportasi umum ada mas ? seperti gojek gitu atau uber

Zamsjourney · December 17, 2017 at 12:40

Beruntungnya bisa berwisata VIP di Bali yu, pasti akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan

Leave a Reply

Avatar placeholder