Perempuan Cantik Berkerudung

Published by ALAM on

Saya terima nikahnya… dibayar tunai!

Perjalanan masa lajang pun terhenti. Ijab kabul itu mengubah status baru. Dari sendiri menjadi beristri. Bismillah, kita mulai kehidupan baru ini.

*Tiga tahun sebelumnya*

Ruang kelas mulai ramai. Beberapa siswa sudah berdatangan. Mr. David pun telah masuk ruangan. Namun tak sampai lima menit, perempuan cantik berkerudung ini izin keluar. Aku tak memperdulikan.

Ia selalu izin keluar hampir di waktu yang sama. Hingga akhirnya aku mendengar alasannya keluar. Ia izin ke Mr. David untuk sholat. Tak disangka, perempuan cantik berkerudung itu izin Sholat Ashar. Nyaris tak percaya, ternyata masih ada perempuan yang rajin sholat di awal waktu di kejamnya kehidupan Kota Surabaya.

Dalam seminggu, aku bertemu dua kali dengannya di kelas Bahasa Inggris. Pelan-pelan aku memperhatikan setiap tingkahnya. Perempuan cantik berkerudung itu sulit untuk didekati. Sangat tertutup. Salah satu yang tersulit yang pernah aku temui.

Dalam dia aku pun mulai ada rasa ketika melihat tingkah lakunya. Tak pernah aku melihatnya tertawa keras seperti perempuan zaman sekarang. Hasil tesnya pun selalu mendapatkan nilai lebih baik daripada yang aku dapatkan. Aku pun mulai curi-curi pandang padanya meski belum berani menyapanya lebih dekat.

Setelah mengenalnya beberapa minggu, aku berkesimpulan bahwa dia adalah perempuan yang mempunyai tiga kriteria calon istri menurutku.

Bertaqwa, Pinter, dan Cantik.

Itulah urutan ketiga kriteria calon istri versiku. Tak mudah menemukan wanita yang mempunyai ketiganya. Kebanyakan hanya mempunyai dua diantara tiga.

Aku mulai bertekad untuk mendekatinya. Ingin mengenalnya lebih dekat. Ingin melihat seberapa bertaqwa, sepintar apakah dan benarkah mempunyai kecantikan luar-dalam.

Dan usahaku dimulai ketika aku diajak untuk buka puasa bersama.

Di momen itu, untuk pertamakalinya aku dapat mengenalkan lebih dekat kepribadiannya. Memang ada beberapa perempuan berkerudung waktu itu, namun hanya dia yang ada di benakku. Kebanyakan dari mereka hanya memiliki dua diantara tiga kriteria calon istri. Saat itu juga lah, aku memberanikan untuk meminta nomor ponselnya.

Berbekal nomor ponsel, interaksi kami pun semakin sering. Kami mulai mengenal satu sama lain. Latarbelakang pendidikan, hobi hingga prestasi yang pernah didapatkan. Dengan cepat kami berubah menjadi sepasang sahabat yang sering pulang telat hanya untuk berbincang dan berdiskusi di depan kelas. Sampai-sampai kami malu karena beberapa kali ditegur oleh guru bahasa Inggris kami, ia bingung mengapa kami belum juga pulang meski sudah dua jam yang lalu kelas kami telah berakhir.

Lama kelamaan, aku mulai nyaman bercerita kepadanya. Meski sebenarnya lebih banyak aku yang bercerita. Dia tetap tertutup dan tidak banyak berbicara. Hingga suatu insiden kecil terjadi di Mushola tempat kami belajar.

Saat itu, dia dan Fitria, temannya, memintaku untuk menjadi Imam untuk mereka. Aku memulai dengan niat imam sholat Ashar. Namun aku baru sadar, jika ternyata hanya dia dan aku yang berjemaah. Fitria tidak mengikuti gerakan sholatku, karena dia tidak tahu kalau kami akan melakukan sholat berjemaah. Sehingga aku menjadi imam untuk dia seorang diri. Meski ada aturan Fiqh yang melarang sholat berduaan pria-wanita yang bukan muhrim, namun karena ada Fitria, dan kami berdua tidak tahu jika Fitria tidak ikut berjemaah, maka aku pikir tidak masalah.

Aku berdoa usai sholat Ashar berjamaah dengannya:

“Ya Allah, jika perempuan cantik berkerudung di belakangku ini adalah jodohku, maka dekatkanlah. Namun jika bukan jodohku, maka jauhkanlah, Ya Rob”

Kami pun semakin dekat. Komunikasi intens terus terjadi di WhatsApp. Hingga akhirnya aku memantapkan hati ingin mengajaknya berpacaran. Niatku cuma satu: berpacaran untuk menikah. Usiaku sudah duapuluh empat, aku ingin meniru Rasulullah yang menikah di usia duapuluh lima. Dan berpacaran dengannya adalah salah satu usahaku.

Al-Qur’an dengan berisi surat cinta menjadi saksi berubahnya status kami menjadi berpacaran.

Masa berpacaran benar-benar menjadi masa yang lebih sulit daripada sebelumnya. Masing-masing dari kami mempunyai ego yang tinggi. Keduanya masih belum menemukan cara untuk menyatukannya. Namun aku percaya bahwa suatu hubungan itu menyatukan dua perbedaan yang sama. Kerena sesungguhnya pria dan wanita itu berbeda. Bukankah instrumen orkestra mengeluarkan alunan musik syahdu jika karena alat dan nada yang berbeda-beda?

Beberapa bulan setelahnya, ketika usiaku sudah 25, aku memberanikan menemui orang tuanya dan mengatakan:

“Secara batin, saya siap menikah. Namun secara lahir, masih belum siap”

Kami punya keluarga. Kami pun masih berada di ujung waktu menyelesaikan studinya. Dan menyatukan dua keluarga, dua manusia pria dan wanita itu tidak sesimpel yang aku pikirkan.

Berbagai ujian datang silih berganti. Seperti aliran sungai yang mengalir tanpa henti. Hingga ujian terbesar pun datang: kami harus berpisah selama 10 bulan. Aku harus menyelesaikan dua semester terakhir di Taiwan. Hubungan kami saat itu sangat dekat. Rasanya begitu sulit berpisah dengannya. Tidak bertemu selama dua minggu saja, pasti muncul pertengkaran, apalagi berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan.

Aku sempat memaksa orang tua untuk mengkhitbahnya sebelum berangkat ke Taiwan. Namun orang tua kami menyarankan berbeda. Agar aku bisa fokus kuliah, maka proses khitbah alangkah baikya dilakukan setelah aku datang dan menyelesaikan semuanya di Taiwan.

10 bulan di Taiwan yang sangat sulit. Berlembar-lembar buku tercipta jika semuanya ditulis. Hanya dua bulan kami mampu bertahan berkomunikasi, setelahnya selama delapan bulan kami tak berkomunikasi sama sekali. Kami benar-benar terpisah jarak dan waktu. Meskipun begitu, bayangannya selalu hadir di setiap lamunanku.

Aku beranggapan, ini jalan terbaik, kami memang harus tak berkomunikasi hingga aku kembali kepadanya. Agar aku bisa menyelesaikan studi ini, dan dia pun bisa menyelesaikan studinya. Meski sangat berat, ini yang terbaik.

Aku berjanji akan menghubunginya sesaat setelah ujian lisan tesis. Ketika aku dinyatakan lulus oral defense, aku pun mengirim email kepadanya. Berharap ia masih mau bertemu denganku. Dan drama demi drama pun terjadi.

Waktu berjalan sangat cepat. Hingga akhirnya aku pun menginjakkan kaki lagi di Indonesia. Selain orang tua, dia lah orang kedua yang aku beri kabar. Terlihat jelas rasa senang dan kecewa di beberapa kalimat chat yang dia kirimkan kepadaku.

Allah melunakkan hatinya. Aku pun senang dia masih mau bertemu denganku. Usai lebaran kami pun bertemu untuk pertama kalinya. Ada rasa yang tak bisa digambarkan. Dia masih cantik seperti dulu. Mulutku kikuk. Tak dapat bersuara. Aku pun tak membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini, darimana aku harus memulai berbicara.

Namun, dia selalu tahu apa yang aku mau. Dia memintaku pergi ke Surabaya Night Carnival. Sepulang dari SNC, aku baru tersadar jika tempat itu telah merobohkan bongkahan jarak antara aku dengannya. Mendekatkan kembali hati yang sempat berpisah jauh. Mengembalikan masa-masa ketika pertama kali mengenalnya. Kami kembali dekat dan memulai lagi hubungan yang baru.

Selang tiga bulan setelahnya. Kami beranggapan bahwa sudah saatnya kami melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kedua orang tua kami sedikit kaget mendengarkan permintaan kami untuk bertunangan. Namun setelah dibicarakan baik-baik, dengan niatan ibadah menyatukan sepasang kekasih, maka kami putuskan bertunangan pada 4 Desember 2017. Setelah dua tahun dua bulan berpacarab, setelah 10 bulan terpisah, setelah dua kali aku “menghilang”, setelah ratusan drama, dan ribuan pertimbangan lainnya, kami memutuskan untuk menikah empat bulan setelahnya.

Perempuan cantik berkerudung itu bernama LISA MAULIDA RAHMAWATI binti Achmad Safi’i. Sekarang dia sudah menjadi istriku. Sabtu pagi, 15 April 2017, kami sudah resmi menikah. Menjadi sepasang suami istri yang sah menurut agama dan negara.

Mohon doakan kami agar menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Menjadi keluarga yang dapat melanjutkan cita-cita orang terdahulu. Melahirkan generasi terbaik untuk kehidupan beragama dan berbangsa yang cemerlang. Amin.

Sebenarnya ada begitu banyak kisah yang tak perlu kami ceritakan di postingan ini. Sebagai penutup, kami akan berpesan kepada semua teman-teman yang sedang berpacaran, atau sedang mencari pasangan hidup:

Niatkanlah segalanya sebagai ibadah karena Allah, niscaya semuanya Dia yang menyiapkannya!

Categories: #ALAMenulis

ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

2 Comments

Abd Rosyid · April 25, 2017 at 00:09

Setiap usaha tidak akan membohongi hasilnya.
Selama menempuh hidup baru ya mas, semoga cepet diberi momongan. Amin

Silviana Noerita · April 17, 2017 at 20:05

Turut berbahagia untuk pernikahannya ya mas. Senang bisa kenal sama mba Lisa, apalagi kemarin kami sempat ada acara bareng dan sehari penuh duduk barengan. Semoga menjadi keluarga yang bahagia dunia akhirat. Aamiin. 😀

Leave a Reply to Abd RosyidCancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.