Semburat Matahari Terbit di Selat Madura

Published by ALAM on

Semua penjelajah, petualang dan pecinta alam berebut untuk menyaksikan keindahan munculnya matahari di ujung pagi. Beberapa tempat yang menyajikan matahari pagi ramai dikunjungi. Pantai yang menghadap ke timur, puncak gunung, puncak bukit, hingga danau menjadi tempat yang cantik apabila dikunjungi di pagi hari.

Bagi yang di puncak gunung, semua berbondong-bondong berangkat ke puncak di tengah malam, demi melihat matahari terbit. Bagi yang di pantai, semua berbondong-bondong berangkat subuh, bahkan menginap di bibir pantai demi matahari terbit. Semuanya dilakukan demi menikmati sajian istimewa di pagi hari, matahari terbit.

***

Gumarang menghentikan rodanya di sebuah stasiun yang masih gelap. Sebuah lightbox bertuliskan Stasiun Pasar Turi menyilaukan mata di pagi buta itu. Aku menarik koper kecilnya menggelinding di lantai. Tujuanku selanjutnya adalah menjemput kuda besiku yang terparkir selama enam hari. Puluhan manusia berseragam biru awan seperti menyambut kedatangan kami, penumpang kereta dari Jakarta. Mereka semua beteriak-teriak dan merayu-rayu. Beranekaragam. Ada yang berteriak: “taksi… taksi…” tidak sedikit juga yang merayu dengan nada lirih, “mas mau kemana? mau naik ojek?”, kata seorang bapak sambil berlari mengejarku yang berjalan cepat. Aku menggeleng, karena tujuannya hanya fokus pada tempat parkir.

Seusai sholat Subuh di masjid Stasiun Pasar Turi yang megah, aku menarik pedal gas motor dan melesat menyusuri pagi yang perlahan terang. Sebuah loket dengan penjaganya menyuguhkan karcis setelah aku membayar 12 ribu untuk satu motor dengan dua orang di atasnya. Dua karcis masing-masing bernilai tujuh ribu dan lima ribu di tangan. Sial, kami tidak mendapatkan “first flight”. Kami gagal naik kapal ferry yang berangkat pertama kali pukul 5.20. Aku pasrah dan hanya melihat ferry bertuliskan Selat Madura I berangkat tepat pada pukul 5.20 dari pelabuhan Ujung Surabaya. Aku terpaksa harus menunggu hingga jam 6 di atas kapal ferry yang juga punya nama, Trunojoyo namanya. Trunojoyo begitu istimewa bagiku. Ini lah nama kampusku tercinta, Universitas Trunojoyo Madura.

Di Madura, nama Trunojoyo digunakan untuk nama jalan, nama kampus, nama kapal ferry, bahkan nama lapangan terbang di Sumenep, Bandara Trunojoyo.

Terlihat air laut beriak-riak terkena putaran dahsyat dinamo ferry. Kapal kecil ini sudah dipenuhi dengan motor dan mobil yang akan menyebrang ke Madura. Perlahan tapi pasti ferry meninggalkan pelabuhan Ujung berlayar di atas Selat Madura.

Gedung Kesyahbandaran yang berornamen Belanda seperti berdiri menantang matahari. Sinar matahari pagi menjadi warna alami baginya. Seolah berada di pelabuhan Belanda.

Pilihanku tidak naik ke ruang penumpang ternyata tepat. Aku tidak mau ke lantai dua karena di dalam ber-AC. Ferry Trunojoyo menjadi satu-satunya ferry yang ber-AC. Dinginnya pasti begitu menyengat kulit di pagi yang sudah dinging. Alam lagi berbaik hati. Dia begitu murah senyum pagi ini. Perlahan aku melihat patung Jalesveva Jayamahe bersiram sinar matahari pagi. Di atasnya bergentayangan awan-awan yang bergeser tersapu angin.

Kapal ferry bergerak ke tengah selat Madura. Angin sepoi-sepoi berkeliaran menggerakkan rambutku. Kamera ponselku bergerak melihat sebuah bangunan raksasa yang melintang di tengah besarnya selat Madura. Mahakarya itu sekarang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura. Bangunan itu lah yang membuat peminat kapal ferry sekarang menurun drastis. Bagiku, justru ini memudahkah para pelancong untuk lebih menikmati perjalanan menggunakan kapal ferry yang lebih sepi dari biasanya.

Siluet Jembatan Suramadu di Pagi Hari

Siluet Jembatan Suramadu di Pagi Hari

Siluet Suramadu tidak lepas dari sorotan tajam kamera ponselku. Satu, dua momen berhasil direkam. Sungguh, sayup-sayup riak air, hembusan angin sepoi-sepoi bercampur hangatnya matahari pagi adalah komposisi istimewa di pagi hari, semakin sempurna dengan pemandangan jembatan yang membentang sepanjang 5,4 km tersaji dari ufuk timur. Seolah dia lebih dahulu menyambut datangnya matahari.

Selat Madura bisa menjadi tempat yang menarik untuk mendapatkan momen matahari terbit. Gabungan antara air laut, kapal ferry, ornamen bersejarah di Surabaya dengan siluet jembatan Suramadu dari sisi timur menjadikan pemandangan di selat Madura begitu sempurna.

  1. Ferry dari pelabuhan Ujung, Surabaya menuju pelabuhan Kamal, Bangkalan ditempuh dengan waktu 24 menit saja.
  2. Jadwal operasional sejak Februari 2014 yaitu mulai pukul 5.00 – 21.00 wib.
  3. Pelayaran pertama di Surabaya di mulai pada pukul 5.20 wib. dari Madura pukul 5.00 wib
  4. Jika ingin melihat sunset dengan matahari cukup terang seperti yang aku lakukan ikutilah dari Surabaya dengan jadwal kedua.

ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

7 Comments

Ahmad MA · May 17, 2014 at 01:28

ahhh semoga bisa berkunjung ke sana, semoga.

    Wahyu Alam · May 21, 2014 at 10:27

    Ayo mas Ahmad, harus ke Madura pokoknya…

azizhadi · April 23, 2014 at 18:04

Waaaah.. gara-gara baca postingan ini jadi kepengen naik kapal laut lagi deh.. sudah lama ga naik kapal laut, paling kalo ke Bali aja pas penyebrangannya baru naik kapal laut.. 😀

Budiono · March 28, 2014 at 20:13

wah cantik sekali suramadu dari kapal fery..

    Wahyu Alam · March 28, 2014 at 21:59

    Iya benar, sesekali nyebrang lah ke sini, ke Madura.

indahjuli · March 28, 2014 at 11:16

Waktu naik ferry itu, kenapa aku nggak lihat bangunan-bangunan ala Belanda itu ya. Apa karena berangkat dari Madura ya.

    Wahyu Alam · March 28, 2014 at 22:00

    Semestinya juga bisa lihat, karena pasti dilewati.

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.