Balada di Atas Tawang Alun
Setiap perjalanan menyimpan cerita. Kali ini cerita itu hadir dari dalam gerbong. Di atas kereta Tawang Alun balada itu terjadi. Kemesraan satu keluarga tersaji di depan mata. Sayang jika tak diabadikan.
Kereta berderu, suaranya gesekan roda kereta beradu dengan rel mulai terdengar. Matahari mulai redup berwarna oranye, namun panasnya masih terasa, pelan-pelan kereta Tawang Alun meninggalkan stasiun Malang, bergerak ke arah utara. Tanpa dinyana aku bertemu Dr. Gamal, aku pernah mengikuti presentasinya di Universitas Ciputra dan Hotel Novotel. Dr Gamal duduk di kursi 19A, sedangkan aku di 15E.
Kereta bergerak sekitar 4 kilometer, aku mengambil ponsel dan menulis postingan ini. Konsentrasiku terpecah. Di kursi samping dengan nomor 16A, 16B, 16C terdapat bapak, ibu dan anaknya duduk berjejer. Kalau boleh menebak bapak itu berumur 50an. Beberapa helai rambutnya mulai memutih. Memakai kemeja cokelat garis-garis dan bercelana kain berwarna abu-abu. Raut mukanya terlihat begitu penyabar. Terdapat garis-garis halus di dahinya. Aku hitung ada tiga garisnya melintang di dahinya, dari kanan ke kiri: tanda penuaan.
Sesekali ia memandangi anaknya yang duduk di samping jendela larut memandangi keadaan di luar. Raut senyum bapak itu bersimpul melihat tingkah anaknya. Sejurus kemudian ia minta untuk bertukar tempat dengan istrinya. Ia seperti ingin dekat dengan anaknya. Ia membelai kepala anaknya, sambil mengatakan sesuatu. Si anak tersenyum menunduk dan memperbaiki duduknya. Ia begitu bahagia mempunyai bapak yang begitu sayang kepadanya.
Si ibu dengan pakaian serban jins, celana dan jaketnya jins, hanya kerudungnya yang bukan terbuat dari jins. Si ibu menutupi mulutnya dengan kerudungnya. Ia seperti tidak memerhatikan kebahagiaan anaknya. Sikapnya datar. Senyuman pun tak terlihat. Sekarang si ibu berpindah di depannya yang masih kosong.
Si bapak yang juga memakai jam tangan cokelat sesekali melihat kondisi di dalam kereta, ia melihat ke atas memastikan barang bawaannya aman. Ia juga melihat sikap anaknya yang anteng. Entah sudah berapa kali tangannya mengelus kepala anaknya.
Sebelum sampai di stasiun Lawang, ia mengeluarkan ponsel dari tempat hitam terbuat dari kulit yang ditaruh di sabuk celananya. Entah apa yang ia perlihatkan ke anaknya. Terlihat si anak tersenyum dan memandangi wajah bapaknya.
Si bapak memandangi istrinya yang tertidur sambil duduk di depannya. Inilah wanita yang menemani hidupnya. Wanita yang memberinya keturunan. Ia kembali tersenyum mesra, tangannya bergerak mengambil sesuatu. Ia mengarahkan barang itu tepat di muka istrinya. Ckrrikkk. Kamera ponsel mengabadikan momen istrinya yang tertidur di dalam kereta.
Sementara itu di depanku, di kursi 16D terlihat seorang gadis berambut panjang, dan berkaus merah. Masker menutup mulutnya, sedari tadi sibuk dengan BlackBerrynya. Di samping kananku, di kursi 15D, ada seorang pria seumuranku, ia menggunakan jaket krem, ia terlihat main game CoC dan sibuk chat LINE. Hampir sama dengan pria yang duduk di 15A, ponselnya terpasang ke colokan listrik.
Kereta terus meluncur. Terlihat pegunungan dan hijaunya sawah menemani perjalanan kereta ini. Gerbong satu ngga terlalu ramai beberapa kursi terlihat masih kosong. Suasana dingin berhembus karena pendingin ruangan kini sudah terpasang setiap kereta api. Suasana panas saat naik kereta, sekarang sudah sejarah.
Semua penumpangnya larut dalam pikiran masing-masing. Roda kereta terus berputar cepat. Menggelinding ke arah timur. Menuju kota the sunrise of Java. Ini adalah awal dari cerita trip Giliwangi. Temen sekelas sudah menunggu di Gilimanuk.
Guys, aku datang!
2 Comments
@kakdidik13 · June 9, 2015 at 10:30
Perjalan lewat jalur darat yang cocok ya naik Kereta Api, bebas dari macet….. alamak !!!!!
zainudin lutfi fauZi · June 6, 2015 at 12:35
Endingnya apa yang terjadi? Pembaca tidak sabar menunggu kelanjutan apa yang terjadi dengan bapak tua dan keluarganya.