Berguru pada “Rindu”

Published by ALAM on

“Cinta itu ibarat bibit tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah dia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.” — Gurutta (Novel Rindu Hal. 493)

Awalnya ragu untuk membeli novel Rindu. Namun rayuan pelayan toko buku membuatku membelinya. Kalau melihat judulnya, aku menyangka novel ini akan banyak bercerita tentang kisah percintaan. Aku juga penasaran kisah cinta seperti apa ya yang bisa ditulis dengan setebal lebih dari 500 halaman.

https://twitter.com/wahyualam/status/616389538705862657/photo/1

Desain covernya begitu sederhana. Tetapi isinya begitu kompleks. Aku langsung suka dengan gaya kepenulisan Tere Liye sejak lembar pertama buku ini. Tak ada daftar isi, tak ada pengantar, atau pun testimoni. Novel ini cukup bersih dan langsung masuk ke bab pertama dalam novel.

Setiap bab tidak ada judul, hanya ada judul satu, dua, tiga dan seterusnya. Bahasanya ringan dan nyaman untuk diselesaikan.

Novel yang baik, bagiku, adalah novel yang membuat pembacanya ingin terus membacanya. Lagi dan lagi. Semacam ada rasa ketagihan jika tidak membacanya. Novel yang baik itu selalu berhasil membuat pembacanya penasaraan di setiap babnya. Ini yang juga aku dapatkan di novel Rindu.

Novel ini bercerita tentang perjalanan haji kapal Blitar Holland dari Makassar ke Jeddah di tahun 1930-an. Dengan latar Nusantara masa lalu, membuatku belajar dan mengetahui gambaran negeri ini di masa penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh yang diambil kebanyakan dari Makassar. Aku suka sekali gaya berbicara orang Makassar. Lugas, to-the-point dan tanpa basa-basi. Sedikit mirip dengan gaya bicara orang Madura. Hal ini juga ditampilkan Tere Liye di novel ini.

novel rindu by wahyualamcom

Awal membacanya cukup membosankan, karena setidaknya ada tiga aktivitas yang berulang dari awal hingga akhir novel. Yaitu kejadian saat makan di kantin, sholat dan mengaji di masjid. Namun ketika sudah sampai di seperempat novel, satu per satu konflik dihadirkan. Kejadian demi kejadian disusun rapi oleh Tere Liye. Satu sama lain berkaitan tanpa kita pernah duga seperti apa akhirnya. Selalu ada kejutan tiba-tiba.

Ada banyak hal yang dapat dipelajari. Aku jadi tahu bagaimana prosesi pemakaman jika ada yang meninggal di tengah laut. Aku juga baru tahu jika di dalam kapal tempo dulu, juga terdapat penjara untuk penjahat. Di akhir cerita, novel ini ada sedikit kemiripan dengan film Captain Phillips: sama-sama mendapat serangan dari perompak Somalia. Hanya saja endingnya berbeda. Jika di film, yang menjadi penyelamat adalah bantuan dari US Navy, di novel ini yang menjadi penyelamat adalah Ambo Ulang dan Gurutta.

Apa bagian favoritku? Tentu saja ada.

Bagian yang paling suka adalah saat tokoh Gurutta Ahmad Karaeng memberikan nasehat. Setidaknya ada lima pertanyaan. Empat pertanyaan dijawab Gurutta, satu pertanyaan di jawab oleh tokoh Ambo Uleng. Bagian terbaik novel ini ada di seperempat bagian akhir. Berbagai konflik berhamburan. Dan empat pertanyaan berada di seperempat akhir. Gaya menjawab Gurutta seperti aku berhadapan dengan guru yang sekaligus ulama besar. Aku seperti mendapatkan nasehat langsung di hadapannya. Persis seperti ulama Madura memberikan tausiyah kepada santri-santrinya. Dan kali ini terjadi di atas kapal, di suatu perjanan agung: naik haji.

Nasihat Gurutta yang paling aku suka (halaman 501):

“Menulis adalah salah satu cara terbaik menyebarkan pemahanan. Ketika kita bicara, hanya puluhan atau ratusan orang saja yang bisa mendengar. Kemudian hilang ditelan waktu. Tapi tulisan, buku-buku, bisa dibaca oleh lebih banyak lagi. Satu buku bisa dipinjam dan dibaca berkali-kali oleh orang yang berbeda, apalagi ribuan buku. Dan jangan lupakan, buku bisa abadi. Terus diwariskan, dicetak kembali. Itu sangat efektif untuk membagikan pemahaman baik.”

 

 


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder