Menyingkap Tabir Kayangan Api

Published by ALAM on

Sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah pepohonan yang berjejer di kanan dan kiri jalan ini. Motor yang dikendarai Fadheli dengan lincah menghindari kobangan-kobangan yang seolah tiada henti menghambat perjalanan kami. Sinar matahari mulai meredup, posisinya seolah berada di ujung dari jalan ini. Aku keluarkan iPad karena tak tahan mengabadikan momen indah ini.

Aku berada dibonceng Fadheli dengan motor Supra Fitnya. Fadheli, Dedek, Nova, Kak Didik dan Edy semangat mengantarkan aku, Raden dan Anam yang datang blogwalking offline ke Bojonegoro. Inilah kunjungan balik kami atas nama Plat-M, setelah beberapa kali, Blogger Bojonegoro blogwalking offline ke Madura, menghadiri berbagai acara kami. Persaudaraan antar blogger itu terasa begitu hangat. Sehangat sinar matahari yang sudah meredup di ufuk barat.

Hari semakin gelap karena rimbunnya daun pohon. Tiba-tiba ketiga motor di depan berhenti di pertigaan jalan. Tepat di bibir jalan terdapat gapura besar dengan warna hitam pekat. Tulisan “Taman Wisata Kayangan Api – Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro” berwarna kuning keemasan terpahat di atasnya. Inilah salah satu objek wisata andalan Kabupaten yang aku kenal dari serial Angling Dharma ketika masih SD.

Dari pertigaan bergapura itu, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar satu kilometer untuk bisa melihat kawasan wisata ini.

Petang seperti menunjukkan titahnya. Suasana petang selalu memberikan kekuatan magis bagi manusia. Suasana semakin mencekam ketika kami tersadar berada di tengah hutan yang sangat jauh dari pemukiman.

Suasana kawasan terlihat begitu sepi. Beberapa pedagang sudah berhasil menutup gerainya dan melenggang kembali ke rumah masing-masing. Beristirahat. Sedangkan kami baru saja tiba di kawasan Kayangan Api. Teman-teman sibuk mengabadikan setiap momen dengan ponsel masing-masing. Sejak berada di atas motor dan parkir, mataku tak berhenti memandang sebuah pemandangan aneh tak biasa. Gumpalan batu-batu disusun meninggi setinggi satu meter. Batu itu dikelilingi bangunan yang mirip dengan candi jaman Majapahit berwarna hitam pekat. Kumpulan-kumpulan batu itu akan terlihat biasa saja tanpa kobaran api di tengahnya. Benar, hal aneh itu adalah kobaran api yang menari-menari di atas tumpukan batu putih. Di selatan kobaran api itu berdiri bangunan dari kayu yang biasa digunakan upacara di sini. Panggung permanen juga terlihat di sisi timur.

Aku melangkah mendekati api itu. Gelapnya sore, bunyi serangga hutan, dinginnya udara di sekitar, empat patung di sisi-sisinya, sepinya suasana makin menambah kesan magis saat memandangi kobaran api. Nalarku tak bisa menerka, bagaimana bisa api itu berkobar dari perut bumi tanpa henti meski tersiram lebatnya air hujan. Api itu berkobar abadi di tengah hutan Bojonegoro seperti memberikan pelajaran bahwa semangat kita, rakyat Indonesia, untuk tetap berkobar dan menyala seperti api ini.

Menurut cerita, Kayangan Api adalah tempat bersemayamnya Mbah Kriyo Kusumo atau Empu Supa atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pandhe berasal dari Kerajaan Majapahit. Di sebelah barat sumber api terdapat kubangan lumpur yang berbau belerang dan menurut kepercayaan saat itu Mbah Kriyo Kusumo masih beraktivitas sebagai pembuat alat-alat pertanian dan pusaka seperti keris, tombak, cundrik dan lain-lain. Sumber Api, oleh masyarakat sekitarnya masih ada yang menganggap keramat dan menurut cerita, api tersebut hanya boleh diambil jika ada upacara penting seperti yang telah dilakukan pada masa lalu, seperti upacara Jumenengan Ngarsodalem Hamengkubuwana X dan untuk mengambil api melalui suatu prasyarat yakni selamatan/wilujengan dan tayuban dengan menggunakan fending eling-eling, wani-wani dan gunungsari yang merupakan gending kesukaan Mbah Kriyo Kusumo. Oleh sebab itu ketika gending tersebut dialunkan dan ditarikan oleh waranggono tidak boleh ditemani oleh siapapun. (Wikipedia)

Di sebelah barat Kayangan Api ini, berjejer gerai pedagang yang sudah tak berpenghuni. Matahari seperti menunggu kita meninggalkan tempat ini. Tak jauh dari gerai terdapat kolam air berbentuk lingkaran yang dipagari besi. Air itu bergerak seperti air mendidik, ketika mendekat aroma pekat masuk ke dalam hidung dengan begitu tajam. Bau belerang begitu pekat tercium. Tapi meski begitu, air di kolam ini tidak panas meski seperti mendidih dan berbau belerang.

Kami harus segera kembali ke kota sebelum matahari benar-benar meninggalkan kita. Suasana semakin gelap ketika Maghrib tiba. Kami kembali kota untuk melanjutkan cerita kami hari ini.

 Masjid Al Birru Pertiwi Bojonegoro

Sebelum ke kota, kami sholat Maghrib di Masjid Al Birru Pertiwi yang berada di kecamatan Dender. Masjid ini cukup unik dengan arsitektur modern yang khas. Area parkirnya cukup luas dan suasana masjidnya begitu nyaman. Kondisi toilet didesain layaknya hotel berbintang. Ornamen-ornamen di dalam masjid membuat siapapun yang sholat akan merasakan kenyamanan saat beribadah.

Malam ini Bojonegoro memberikan tempat yang nyaman bagi Plat-M dan Blogger Bojonegoro untuk berdiskusi tidak jelas.

Blogwalking offline yang memukau!

 


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

3 Comments

bukanrastaman · May 28, 2015 at 09:18

hampir mirip di madura ya kak, cuma di madura malah digunakna untuk masak

Frenavit Putra · March 12, 2015 at 11:17

Waahh.. Keren nih, blogwalking offline… jadi pengen ikutan…
Btw baca cerita mas wahyu mengenai api yang nyembur dari dalam tanah, jadi inget di Mojokerto juga ada, namanya bekucuk. Sama persis. Tapi tak tahu apakah sekarang masih ada apa gak.. 🙂

    Wahyu Alam · March 20, 2015 at 06:40

    Mojokerto punya juga ya? wah!
    Madura juga punya, tetapi ngga dikemas dengan baik. di Pamekasan tepatnya.

Leave a Reply

Avatar placeholder