Mohammad Hatta: Untuk Negeriku

Published by ALAM on

trilogi untuk negeriku bung hatta

Mohammad Hatta. Nama yang begitu populer. Bersama Soekarno, ia didapuk menjadi pemimpin negeri. Fotonya sering muncul di buku-buku sejarah. Aku tak tahu pasti bagaimana peran keduanya bagi kemerdekaan Indonesia. Aku hanya mengenal sebatas wakil presiden pertama. Itu saja. Betapa berdosanya aku ini!

Ketidaktertarikanku terhadap sejarah, membuatku tidak mengenalnya. Kini, setelah tiga bukunya aku tamatkan, aku paham. Ia begitu besar jasanya bagi negeri ini. Ia salah satu pemuda Indonesia yang cerdas, sejak kecil sudah berkawan dengan buku. Ia sangat beruntung bisa mengeyam pendidikan hingga ke Belanda. Ya, ia bersekolah hingga ke negara yang sedang menjajahnya.

Di buku pertama yang diberi judul Bukittinggi – Rotterdam Lewat Betawi, ia bercerita masa kecilnya. Bersama keluarga dengan latar belakang Islam yang kuat, ia menempuh pendidikan dasar hingga menjadi doktor di Belanda. Ia pun bercerita detail bagaimana proses ia belajar mulai kanak-kanak hingga hijrah ke Belanda.

Salah satu quote yang sangat aku suka:
Tuntutlah ilmu lebih dahulu, supaya engkau kelak mempunyai pengetahuan ilmiah sebesar dasar pengetahuanmu dalam praktik nanti. Jangan terburu-buru masuk praktik karena keadaan luar biasa dan gaji sementara. Semuanya itu tidak kekal.

Detail cerita Bung Hatta, membuat kita seperti melihat kondisi tanah air dua puluh tahun sebelum merdeka. Kehidupan sosial masyarakatnya, kehidupan ekonomi hingga sistem pendidikan Indonesia di masa lalu.

Entah apa jadinya, jika Bung Hatta tak menuliskan semua ceritanya ini. Pelan-pelan gambaran masa lalu Indonesia akan hilang digerus perkembangan zaman.

wahyualam baca Hatta
Di buku kedua dengan judul Berjuang dan Dibuang, kita seperti dihadirkan keindahan dan pesona Indonesia timur. Ceritanya saat diasingkan di Banda Neira membuka mata semua orang. Di buku ini ia juga menghadirkan tanda tanya besar bagiku: kemanakah enam peti buku yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi: mulai dari Belanda, diasingkan di tanah papua, tepatnya di Boven Digoel, hingga tinggal enam tahun di Banda Neira.

Aku membaca tulisan terkait tentang Banda Naira saat ini. Bung Hatta pasti tersenyum dan bangga jika masyarakat Banda Neira hingga kini masih sering membicarakannya. Meski hanya mendengar cerita dari kakek nenek atau orang tuanya, tapi masyarakat Banda Neira masih merindukan Bung Hatta.

Aku menasbihkan Banda Neira menjadi salah satu tempat yang harus aku sebelum aku mati. Aku masih yakin, kecantikan dan romantisme Banda Neira masih bisa dirasakan hingga saat ini.

Rumah pengasingan Bung Hatta di Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Tempat ini menjadi salah satu obyek wisata sejarah yang paling sering didatangi wisatawan atau peneliti sejarah, dalam maupun luar negeri. Selain itu, tempat ini juga menjadi laboratorium untuk program studi sejarah dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hatta Sjahrir.

Kompas/Fransiskus Pati HerinRumah pengasingan Bung Hatta di Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Tempat ini menjadi salah satu obyek wisata sejarah yang paling sering didatangi wisatawan atau peneliti sejarah, dalam maupun luar negeri. Selain itu, tempat ini juga menjadi laboratorium untuk program studi sejarah dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hatta Sjahrir.

Di buku ketiga dengan judul Menuju Gerbang Kemerdekaan, ia bercerita detail tentang kisah lengkap perjuangannya bersama tokoh-tokoh bangsa Indonesia.

Buku ketiga bercerita tentang ia bersama tokoh-tokoh besar negeri ini berjalan menuju gerbang kemerdekaan. Kecerdasan Bung Hatta yang paham politik, sosial dan ekonomi internasional, membuat bangsa ini tak mudah dibodohi.

Sekali merdeka tetap merdeka, pekiknya.

Di buku ketiga ini, kita seperti diajak berkeliling dunia. Kita seolah diajak mengikuti perjalanan Bung Hatta dari satu kota ke kota lainnya. Sangat detail, termasuk bagaimana ia dan para tokoh lain, berhenti di bandara Kemayoran dan buang air sambil berdiri di sudut bandara. Hal ini terpaksa dilakukan karena kapal terbang yang ia tumpangi hanya singgah sebentar. Tentu saat itu, bandara Jakarta masih sepi. Hal kecil seperti ini pun tertulis begitu detail.

Buku ini menjadi salah satu sumber literatur yang sangat penting, terutama jika ingin mengetahui di balik layar perjanjian-perjanjian besar.

Saat aku masih SMP sudah tahu tentang perjanjian Linggarjati, Roem-Royen, Konferensi Meja Bundar, dsb. Namun, baru di buku ini, aku bisa paham maksud dan tujuannya.

Aku merasa terbawa situasi dan seakan-akan berada di belakang Bung Hatta, mengikuti setiap aktivitasnya.

Dalam sehari, bung Hatta selalu bangun pukul 04.30, usai sholat Subuh, ia sering gunakan untuk berolahraga 30 menit kemudian sarapan telur setengah matang dan secangkir kopi. Bung Hatta terkenal tepat waktu, bahkan untuk makan tengah hari dan istirahat malam pun ia tepat waktu. Bung Hatta istirahat sekitar pukul 22.00.

https://d3fc3prx3nea5t.cloudfront.net/wp-content/uploads/2015/08/bung-hatta.jpeg

Foto: Zeniut.net

Satu hal lagi yang ia tidak pernah singgung. Namun kisah ini, hanya menjadi penutup di bukunya. Ia tidak menceritakan detail bagaimana berkenalan dan menikah dengan istrinya. Ia hanya menyinggung, kalau akan menikah setelah Indonesia merdeka. Di bab akhir, Bung Hatta tiba-tiba menyebutkan ia bersama istri dan anaknya Meutia yang masih berumur satu tahun. Ia bercerita saat terpaksa membawa anak dan istrinya saat ditahan Belanda.

Foto pernikahan dengan istrinya menjadi penutup yang manis. Ia berpakaian rapi menggunakan jas dengan didampingi istrinya di samping kiri.

Aku percaya, Bung Hatta adalah orang yang romantis. Tetapi keromantisannya, ia simpan sendiri. Ia hanya mengumbar keromantisannya untuk istri dan keluarganya. Kalau pun kisah cinta keduanya ditulis, pasti akan sangat menarik ditunggu.

Bangsa Indonesia tentu bangga mempunyai seorang Bung Hatta. Begitupun kami, pemuda Indonesia yang hidup puluhan tahun setelah ia wafat. Kami akan berusaha melanjutkan perjuangan Bung Hatta. Kami akan gemar membaca buku seperti Bung Hatta.

Bung Hatta, terima kasih atas segala perjuangannya. Pasti kami akan selalu mengenangmu. Pasti!

 

Mohammad Hatta menepati janjinya untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Hatta menikahi Siti Rahmiati pada 18 November 1945. Foto: Repro Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, karya Deliar Noer.

Mohammad Hatta menepati janjinya untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Hatta menikahi Siti Rahmiati pada 18 November 1945. Foto: Repro “Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa,” karya Deliar Noer.


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

1 Comment

niyasyah · March 7, 2016 at 18:10

kebanyakan dari kita hanya mengenal tokoh-tokoh hebat seperti Beliau ini cuma sekedar nama dan sekelumit kisahnya dari pelajaran sejarah di masa sekolah. coba ya..seandainya kita diwajibkan “mengenal” beliau setidaknya dari buku pelajaran sekolah saja

Leave a Reply

Avatar placeholder