Pertama Kalinya, Baca Kemudian Nonton Filmnya

Published by ALAM on

Negeri 5 Menara adalah novel pertama yang aku baca sampai hatam. Aku sangat malas baca novel, apalagi kalau tebalnya sampai lebih dari 300 halaman. Tapi sejak membaca novel karya bang Ahmad Fuadi ini aku jadi ketagihan membaca novel yang bertemakan motivasi. Karena novel ini juga akhirnya aku tahu kenapa orang-orang sangat gemar membaca novel, apa saja novel yang bagus di luar dan dalam negeri aku jadi tahu. Ya semuanya berawal dari novel Negeri 5 Menara. Setelah membaca Negeri 5 Menara dan belum selesai membaca Ranah 3 Warna, aku sudah mendapatkan kabar kalau novel pertama dari trilogi yang mengisahkan Alif Fikri ini akan di filmkan. Jujur dari awal pemberitaan aku sudah mengikuti dan sangat penasaran. Aku melihat setiap hari perkembangan film ini dari twitter @fuadi1 dan @N5Mthemovie yang menjadi ujung tombak pertama untuk informasi terbaru tentang film ini. semuanya aku ikuti mulai dari casting untuk pemeran utama *sebenarnya kepengen ikut, tapi tidak percaya diri, tidak jago akting* sampai trailer 1-5 di Youtube aku tahu semua. Bahkan poster edisi coming soon sampai versi akhir film yang mengambil gambar di empat lokasi (Maninjau, Gontor, Bandung dan London) ini aku simpan di laptop.

Film ini berceritakan tentangAlif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan mantera saktiman jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun.Tuhan sungguh Maha Mendengar.

Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.

Dan pada akhirnya kemarin senin (5/3) aku baru sempat nonton film ini langsung di Surabaya Plaza (Delta). Ini adalah kali pertamaku nonton film setelah membaca novelnya. Di awal-awal scene aku seperti kembali ke flashback membaca novel itu. Terlebih ketika ustadz Salman memberikan mantra Man Jadda Wajada kepada santri-santrinya benar-benar membuatku bergetar.

Namun menjelang pertengahan benar kata beberapa kawan di sosial media, jangan berekspektasi besar ketika sudah membaca novelnya dan menonton filmnya. Ada beberapa yang hilang. Beberapa scene yang sebenarnya bisa lebih dramatis terlihat sangat datar. Ada bagian ketika aku baca di novel sampai menitikan air mata adalah ketika Alif membaca balasan surat dari Amaknya yang membalas surat Alif tentang keinginan keluar dari Pondok Madani, tetapi di film ini terlihat datar tidak terlalu dramatis, begitu juga ketika satu dari Sahibul Menara yaitu Baso pergi meninggalkan lima temannya yang lain. Ikang Fauwzi sebenarnya kurang pas jika harus berperan sebagai Kiai Rais. Pada adegan berceramah di depan santri barunya, terlihat kurang berwibawa. Tapi dipertengahan, peran Ikang Fauwzi mulai berwibawa layaknya Kiai yang sangat dihormati santri-santrinya, ditambah logat Jawa yang kental membuat semakin terasa unsur Ponorogonya.

Lebih dari itu aku harus memberikan nilai positif bagi semua tim yang bekerja menggarap novel ini. Bagaimanapun membuat film yang diangkat dari sebuah novel dengan tema Islami dengan latarbelakang pondok pesantren tidaklah mudah. Apalagi lokasi yang diambil benar-benar seperti yang dikisahkan di Novel. Pondok pesantren modern Gontor merupakan salah satu pesantren terbaik di Indonesia, sudah banyak tokoh besar negeri ini yang besar dan menuntut ilmu pondok pesantren ini. Film ini mengobati rasa penarasanku tentang kondisi asli pondok pesantren Gontor yang konon sangat ketat sampai susah dimasuki oleh media elektronik khususnya televisi meski hanya untuk peliputan saja.

Categories: #ALAMereview

ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

5 Comments

elvira157 · March 13, 2012 at 19:10

aku nonton pas hari kedua tanyang di bioskop
iyah… sesekali emang ada yang ilang ceritanya

well… tapi tetep menghibur kok 🙂

rotyyu · March 7, 2012 at 10:15

Bukannya si orang Gorontalo yg pulang untuk merawat nenekya? Kok malah Raja?

    wahyualam · March 8, 2012 at 09:01

    hihihi. I’m sorry., tapi sudah saya ganti. thanks koreksinya

Saifuddin el-Kamali · March 7, 2012 at 07:22

uhibu ilaiha…….

Leave a Reply

Avatar placeholder