#JavaTrip Ponorogo 2: Ini Bukan Bali, tapi Ponorogo

Published by ALAM on

Puas menenggelamkan diri bersama warga Ponorogo, masih bersama Sigit, aku diajak munggah ke Telaga Ngebel.

“Oh, ada Telaga juga di sini?”, tanyaku dalam hati.

Kami bertiga dua motor memecah keheningan malam ke timur Ponorogo, aku melihat jam tangan sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Sebelumnya kami mengambil jaket di kos, karena di sana katanya dingin. Wah! Semakin membuatku penasaran. Okelah, mumpung ada di sini, lanjutkan!

Kita sudah melaju 20 menit dengan kecepatan 60 KM/Jam, tanpa helm yang membuatku air mataku berkali-kali harus menetralisir setiap debu yang memasuki kelopak mata. Tapi Telaga itu tak kunjung terlihat. Jalan yang kami tempuh sudah menanjak. Aku sedikit memejamkan mata saat motor yang aku boncengi miring mirip seperti Valentino Rossi yang mengatasi tikungan demi tikungan. Jalan menuju tempat ini, menanjak, tidak hanya menanjak, tapi juga berkelok, aku tidak tahu berapa kali sudah kelokan yang kita lewati. Bokongku sudah terasa panas.

“Masih lama, mas?” tanyaku tidak sabar.

“Masih dapat separuh!”. Jawab sopirku

“haaaah?” kejutku dalam hati.

Tanjakan demi tanjakan teratasi. Dingin sudah mulai menembus pori-pori kulit. Beberapa kawasan sudah seperti hutan, tak berpenghuni, tetapi semakin ke atas bukit, masih ada kehidupan ternyata di atas. Aku mencoba menikmati momen demi momen ini. Kalau melihat suasana gelap, hutan, dan malam hari seperti ini aku jadi teringat saat dulu sempat bergabung ke unit kegiatan mahasiswa pecinta alam di kampus. Lamunanku itu terhenti oleh sebuah portal yang juga ada ada bapak-bapak berjaket yang menjaganya. Tiket masuk 10.000/orang. Portal dibuka kalau sudah membayar tiket.

Saat memasuki kawasan Telaga dari portal itu harus menempuh jalanan menanjak sebelum menjorok ke bawah. Saat itulah aku melihat hamparan air seperti laut yang luas di depan.

“Gila, ini Selat Madura di atas gunung seperti ini”. Pikirku, bodoh.

“Selamat datang di Telaga Ngebel!”, meski tidak ada yang mengucapkan, seperti ada yang mengucapkan sendiri dalam hati. Air seperti berwarna hitam pekat karena tidak ada sinar matahari. Lampu-lampu di pinggir Telaga seperti membentuk titik-titik pembatas Telaga sehingga terlihat begitu luas. Selain itu, telaga ini dikelilingi bukit-bukit yang indah mirip seperti Danau Beratan di Bedugul Bali. Hanya saja sepertinya lebih indah karena kita bisa mengelilingi Telaga Ngebel ini dengan sepeda motor atau mobil. Karena di bibir Telaga sudah ada jalan aspal yang memudahkan pengunjung.

Aku kecewa, karena tidak mungkin aku bisa berfoto dengan latar Telaga ini *lumayan buat ganti foto profilku di Facebook*. Malam hari seperti penghalang keindahan Telaga Ngebel. aku yakin Telaga ini begitu indah di siang hari. Padahal besok pagi aku harus berangkat ke Semarang. Tapi Telaga ini seperti memaksaku untuk pergi mengunjunginya lagi esok hari, saat matahari terbit, sehingga aku bisa melihat secara detail Telaga ini. sinar matahari akan menjadi pewarna lukisan alam yang begitu indah di bumi reog. aku putuskan untuk menginap di sekitar Telaga. Untung Sigit punya teman, jadi bisa menginap gratis tanpa perlu memakai jasa penginapan yang berserakan di bibir Telaga *hehehehe, penghematan!*.

Lebih kecewa lagi saat aku ternyata terlambat. Upacara tradisional Larungan Sajen dan Grebeg Suro di Telaga ini sudah berakhir. Di tengah telaga terlihat seperti titik-titik lampu yang membentuk tulisan 1 Suro. Di atas, di bibir Telaga, cuma tersisa pertunjukan wayang kulit yang lumayan menghiburku, darah Jawaku seperti membuncah saat mendengar lantunan lagu-lagu Jawa. Setelahnya, Aku mencari tempat ngopi untuk menghangatkan badan. Saat pukul 00.00 WIB terdengar bunyi letusan kembang api, aku datang melihatnya dari dekat. Kembang api itu menandakan waktu sudah memasuki 1 Suro. Selamat Tahun Baru 1 Muharram!

Telaga Ngebel dihubungkan dengan kisah seekor ular naga bernama “Baru Klinting”. Ular tersebut merupakan jelmaan dari Patih Kerajaan Bantaran Angin. Kala itu Sang patih sedang bermeditasi dengan wujud ular, dan secara tak sengaja ada seorang warga yang membawa ular jelmaan tersebut ke desa.

Sesampainya di desa, ular jelmaan tersebut hendak dijadikan makanan karena ukuran tubuhnya yang besar. Sebelum dipotong ular tersebut secara ajaib menjelma menjadi anak kecil, yang kemudian mendatangi masyarakat dan memutuskan membuat sayembara.

Sang bocah kemudian menancapkan lidi di tanah, versi yang lainnya menyebutkan bahwa yang ditancapkan adalah centong nasi. Namun tidak ada yang berhasil mencabutnya. Bocah ajaib itulah yang berhasil mencabutnya. Dari lubang bekas ditancapkannya lidi atau centong tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuk sebuah Telaga. Oleh penduduk desa sekitarnya, telaga tersebut diberi nama telaga Ngebel, artinya telaga yang mengeluarkan bau menyengat.

Legenda Telaga Ngebel ini konon terkait erat dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon salah seorang pendiri Kabupaten ini yakni Batoro Kantong. Sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro. ~Wikipedia

Pagi hari, bangun sedikit telambat. Setelah pulih dari kecapaian tadi malam. Kita berangkat lagi ke Telaga. Matahari bersinar terang pagi ini. jam 9 pagi. Suasana sejuk tidak sedingin di Malang. Aku begitu antusias melihat Selat Madura yang ada di atas gunung.

Dugaan bodohku benar. Pemandangan Telaga Ngebel begitu indah. Suara-suara serangga hutan membuat suasana khas. Seperti lantunan musik relaxing yang menentramkan jiwa. Kamera tidak lepas untuk mengabadikannya. Semua sudut-sudut yang tidak terlihat tadi malam, sekarang terlihat begitu jelas. Tidak lupa aku berpose dengan latar Telaga. Aku tarik nafas, berusaha rileks, meski sejenak, mengistirahatkan pikiran, hati dan batin. Tidak lupa perut juga harus dimanjakan, aku dan Sigit bersarapan di warung lesehan pinggir Telaga. Sebelum akhirnya kembali melewati lebih dari 35 kelokan, 3 diantaranya kelokan tajam 180 derajat ke rumah kos di kota Ponorogo dan mengantarkanku ke Semarang.

Terimakasih Sigit, terimakasih Ponorogo. Sudah melihatkanku betapa negara ini begitu indah. Menunjukkan kepadaku begitu permainya negeri kita tercinta ini. I Love U, Indonesia!


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

7 Comments

Pardicukup · November 23, 2012 at 00:51

kedatangan yang mendadak. hahaha…
padahal itu deket sama stand pameranku.

Reza Saputra · November 17, 2012 at 04:47

Waduh,, mas wahyu mendadak banget ngabarin temen-temen di Ponorogo. Mohon maaf mas kemarin belum bisa menemui 🙁

    wahyualam · November 19, 2012 at 04:00

    Ya gpp, Reza. Kalau ngga gitu kan ngga surprise. 😀 maybe next time kali yak?

jidat · November 16, 2012 at 16:02

sayang sekali kemarin gak bisa ketemu ya mas, padahal saya punya id pers grebeg suro yang all access. jadi masuk ngebel, aloon aloon dan barikade gratis dan bebas.hhe mungkin lain waktu.hhe

    wahyualam · November 17, 2012 at 00:20

    Menyesal sik, tapi ya sudahlah. seperti lagunya Bondan. Mungkin lain waktu saja. 😀

Desiran Darah Jawa Menyeruak Hingga Candi Sukuh - Wahyu Alam · June 11, 2013 at 08:58

[…] Aku sengaja duduk paling depan bersama sopir, aku ingin melihat lebih dekat satu lagi kota menawan di negeri ini. Ditemani gerimis yang lumayan membahasi dedaunan di sekitar kami tiba di kawasan candi. Aku begitu suka suasana pegunungan seperti ini. Dingin sejuk dan menentramkan. Jauh dari deru klakson yang biasa kita dengarkan di kota. Suasananya mirip saat aku berpetualang di telaga Ngebel di Ponorogo. […]

#JavaTrip Ponorogo 1: Tenggelam Bersama Warga | Wahyu Alam's · November 16, 2012 at 15:38

[…] Oke, budhal!, tantangku. […]

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.