Menilik Keindahan Ujung Timur Madura
Persis seperti tahun lalu. Saat akan mengadakan ulang tahun Plat-M ke-3, aku berangkat bersama Raden ke Sumenep.
Menembuh perjalanan 160 km dengan waktu 4 jam kami sampai di Sumenep. Hari Jumat malam kami putuskan untuk menginap di rumah Agung, anggota Plat M yang sedang kuliah di UTM di Bangkalan.
Hari pertama di Sumenep, kami langsung disambut keramahan warga Sumenep. Ngga tau aku harus mengeluarkan berapa rupiah untuk urusan akomodasi dan makan jika tidak dibantu oleh kabaikan hati keluarganya Agung. Mereka mempersilahkan menginap di rumahnya. Kami juga diberi makan dan minum. Serasa berada di hotel berbintang pelayanannya. Bahkan aku mengabadikan keramahan warga Sumenep ini menjadi satu postingan terpisah.
Sabtu pagi, setelah bangun kesiangan, kami bergabung dengan teman-teman Songennep Tempo Doeloe (Sapoloe). Mereka akan mengantarkan kami mengunjungi pulau dengan kadar oksigen tertinggi di dunia, katanya. Pulau kecil ini diberinama Gili Iyang.
Aku menggunakan motor bersama teman-teman yang lain menyusuri Sumenep ke arah timur menuju sebuah ujung. Ujung dari pulau ini, pulau Madura.
Ditemani pemandangan indah sepanjang perjalanan, aku tiba di salah satu ujung pulau Madura, Dungkek namanya.
Sambil menunggu kapal pesanan, kami diajak bermain ke kepala desa Dungkek yang rumahnya tidak jauh dari pelabuhan. Dari informasi yang diberikan kepala desa Dungkek ini, kami dapat beberapa fakta menarik.
Menurutnya, warga Gili Iyang sendiri tidak tahu bahwa di pulaunya ini tersimpan keistimewaan alam yang tiada duanya. Mereka tidak merasa bahwa tempat yang mereka tinggali itu adalah pulau dengan kadar oksigen terbaik di dunia. Jelas ini adalah fakta unik menurutku. Selain itu, fakta uang juga membuat kita geleng-geleng kepala adalah di pulau itu tidak belum terdapat listrik dan hingga saat ini tidak ada satupun uang mengetahui dimana letak pasti tempat dengan kadar oksigen terbaik. Hanya Lapan yang mengetahui semuanya.
Bermodalkan dua fakta unik tadi, aku bersama teman-teman yang lain berangkat menuju pelabuhan Dungkek dan berangkat ke Gili Iyang.
Berada di atas kapal dengan ombal tinggi seperti ini mengingatkanku saat menyeberangi Lombok Gili Trawangan di NTB. Di sini perahu yang digunakan lebih besar berkapasitas sekita 25 orang. Selain itu, ombak di sepanjang membuat perahu yang kami tumpangi bergoyang ke kanan ke kiri. Tak pelak, hal ini membuat Slamet, kawanku, mabuk laut dan nyaris saja muntah. Sedangkan si Agung tak kuat menahan gempuran ombak yang bertubi-tubi, akhirnya di ambruk dan muntah di tengah laut.
Sesampainya di Gili, sepanjang mataku melihat, ngga ada yang spesial. Tidak ada ucapan selamat datang di wisata Gili Iyang. Hanya suara ayam dan kambing peliharaan warga yang terdengar. Persis seperti di desaku, desa Kebun.
Untuk berkeliling Gili ini tidak perlu berlama-lama. Kurang dari 2 jam kita sudah bisa mengitara pesisir pantai Gili Iyang. Disini tidak ada mobil, tetapi motor banyak dijumpai. Untuk mengangkut rombongan, kami menyewa dorkas dengan membayar 100 ribu sudah bisa berkeliling di Gili Iyang ini.
Gua Air menjadi tempat tujuan pertama. Gua ini sama seperti gua-gua yang lain. Tetapi di sini masih belum tersentuh apapun. Karena memang di Gili ini belum tersedia listrik. Jadi gua air ini masih gelap dan tanpa pencahayaan. Tetapi menurutku juga, semakin ke dalam, akan menjumpai misteri-misteri yang belum terungkap, tapi kami tidak berani berjalan terlalu dalam, karena gelap dan semakin ke dalam sepertinya stok oksigen semakin menipis, jadi akhirnya memutuskan untuk kembali ke atas dan melanjutkan perjalanan ke titik kadar oksiget tertinggi.
Sunset. Sumenep. Madura pic.twitter.com/DpQLAMja33
— ALAM (@wahyualam) October 21, 2013
Tidak jauh dari gua air, kami berhenti di area pemakaman. Ngga ada yang spesial di tempat ini. Aku hanya melihat pohon bambu dan tanah tertutup daun-daun yang berceceran di lantai. Aku mencoba menghirup udara tempat yang mempunyai kadar oksigen tertinggi, katanya. Ngga ada yang berbeda, mungkin aku yang flu. Aku mencoba menghirup lagi, sedikit lebih segar memang, tapi aku belum percaya. Ini masih lebih segar ketika kita berada di pegunungan. Lantas, apa yang membuat Lapan rela pergi ke tempat jauh ini untuk meneliti tempat ini. Memang, tidak ada yang tahu satupun, dimanakah letak titik oksigen yang sangat tinggi di Gili ini. Mungkin, ini bukan titik tertinggi. Hanya saja, bukti nyata terlihat ketika banyak sekali orang tua yang umurnya lebih dari 70 tahun masih sehat dan ikut beraktivitas berat, seperti mendorong kayu menggunakan gerobak. Pemandangan seperti ini banyak terlihat di sepanjang gili.
Hal terakhir yang aku nikmati dari Gili Iyang ini adalah pantainya. Pantai yang terletak di desa Banraas ini terdiri dari bebatuan. Batu karang terhampar di sepanjang bibir pantai, bahkan ada bukit karang yang menjulang ke laut mirip seperti Tanah Lot di Bali. Kondisi airnya masih bersih dan enak untuk dibuat renang. Aku memilih berenang dan menikmat pantai yang tak terjamah ini. Gila, ini keren sekali. Sayang tempatnya jauh, jadi tidak banyak orang yang tertarik mendatangi pantai ini.
Aku pikir perjalanan selesai. Saatnya kita pulang. Ternyata, ada kejutan saat perjalanan pulang. Kami disuguhkan pemandangan sunset yang dahsyat. Matahari meredup dari balik pulau Madura. Semakin menarik ketika menikmatinya dari atas perahu yang membawa kami pulang dari surga yang berada di ujung timur Madura.
4 Comments
Budiono · October 24, 2013 at 09:43
sekarang nampaknya sering jalan-jalan bro 🙂
bocah petualang · October 22, 2013 at 06:54
Menyebut nama tapi tidak memberikan back link seperti mengajak ke restoran bintang lima tapi tidak pesan apa-apa 😀