Merekam Bandara Internasional Taoyuan
Kesan pertama terhadap Bandara Internasional Taoyuan adalah biasa saja. Tak ada yang istimewa. Justru aku merasa bandara ini kecil dengan arsitektur ala kadarnya. Mungkin karena aku baru saja dari terminal baru di Bandara Internasional Juanda atau karena baru saja melihat kemegahan Bandara Changi.
Pernah melihat yang terbaik, maka melihat yang lain rasanya hambar. Itulah anggapan pertamaku terhadap Bandara Taoyuan saat pertama kali tiba di Taiwan awal September tahun lalu.
Namun sepertinya anggapanku itu salah besar atau terlalu dini menyimpulkan seperti itu. Buktinya:
Taiwan Taoyuan International Airport won a total of 11 awards from UK-based consultancy firm Skytrax this year, including world’s best airport staff service and best airport staff in Asia. Taiwan took second place in airport immigration, up from the third place last year. It was also ranked No. 3 among the airports with passenger volume of between 30 million and 40 million per year, up from No. 4 last year (taipeitime.com).
Penasaran, akhirnya aku ikut ke bandara saat mengantarkan Saide dan Kemal saat mereka mau liburan ke Indonesia. Aku memilih menetap di Taiwan karena belum ada alasan untuk pulang.
Dari kampus sebenarnya bisa naik taksi ke bandara. Tetapi karena letaknya cukup jauh dan mahal, kami memutuskan ngecer: Naik MRT kemudian pindah ke bus bandara.
Dari station MRT di Taipei Main Station, kami harus berjalan kaki cukup jauh menuju terminal tempat bus ke bandara. Agak repot jika membawa koper besar seperti Kemal. Karena perjalanan naik turun tangga.
Kami perlu membayar tiket 120 NT untuk bisa menaiki bis ke bandara. Penumpang dibagi menjadi dua: terminal 1 dan terminal 2. Tas dan koper di letakkan berdasarkan dua terminal tersebut. Kami sepakat turun di terminal 2. Meski sebenarnya belum tahu Saide dan Kemal naik pesawat dari terminal berapa.
Benar. Kami salah. Kemal dan Saide berbeda pesawat. Kemal di terminal 2 karena pakai pesawat EVA Air, Saide di terminal 1 karena naik Tiger Air. Untungnya waktu boarding masih dua jam lagi. Kami agak santai.
Kami berpisah di terminal 2. Kemal sudah bertemu Anthonny, temannya. Aku harus mengantarkan Saide menuju terminal 1. Untungnya bandara ini punya kereta penghubung antar terminal, namanya Skytrain. Entah mengapa bandara Taoyuan malam itu terlihat sibuk sekali. Semua konter penukaran boarding pass, ramai dan antri.
Hanyalah orang buta huruf yang nyasar di Bandara. Apalagi sekelas bandara Internasional. Dimanapun kita berada, cukup menoleh ke petunjuk arah kita bisa pergi kemanapun bagian di dalam bandara: toilet, ticket counter, information center, hingga Station Skytrain. Aku mengikuti saja sesuai petunjuk arah yang besar terpampang jelas.
Kereta yang menghubungkan dua terminal ini sama seperti Metro Taipei atau LRT di Singapura. Berjalan di atas rel yang dibangun di ketinggian, sehingga disebut ‘kereta langit’. Skytrain di Taiwan ini hanya ada dua gerbong. Ada untungnya juga Saide dan Kemal berbeda terminal, sehingga aku bisa merasakan bagaimana naik Skytrain. Norak yak. Biarlah!
Butuh waktu sekitar tiga menit untuk berpindah ke terminal 1.
Perjalanan dari terminal dua ke terminal satu, aku melihat beberapa arsitektur yang menarik. Tak lupa aku mempostingnya di Instagram.
Anggapan awal tentang bandara ini ternyata salah. Bandara ini cukup besar. Meskipun tak sebesar bandara Changi. Di Bandara ini lah aku melihat multi etnis. Mulai dari orang Eropa, Amerika, Asia Tenggara hingga orang Arab membaur menjadi satu. Aku melihat gambaran dunia di Bandara Taoyuan.
Bandara Internasional Taoyuan Taiwan (IATA: TPE, ICAO: RCTP) (Hanzi Tradisional: 臺ç£æ¡ƒåœ’åœ‹éš›æ©Ÿå ´; Hanzi Sederhana: å°æ¹¾æ¡ƒå›å›½é™…机场; Pinyin: TáiwÄn Táoyuán Gúojì JÄ«chÇŽng) (Hanzi: å°ç£æ¡ƒåœ’國際航空站, hanyu pinyin: taiwan taoyuan guoji hangkongzhan, bahasa Inggris: Taiwan Taoyuan International Airport), sebelumnya Bandara Internasional Chiang Kai-shek adalah salah satu bandara internasional dan merupakan yang terbesar di Taiwan, Republik Tiongkok. Dibangun pada tahun 1979, bandar udara ini menggantikan bandara Sungshan di dalam kota Taipei yang kemudian menjadi bandara domestik melayani penerbangan dalam negeri.
Bandara ini baru saja menambah fasilitas Mushola. Hal ini sempat ramai di media online di Taiwan. Benar, Taiwan memang sedang berusaha keras untuk menunjukkan sebagai negara yang friendly untuk Muslim. Bukti keseriusan mereka bisa dilihat di website travel.taipei/muslim.
Namun sayang, aku tak menemukan di mana letak Mushola itu, sehingga aku dan Saide hanya sholat di salah sudut bandara. Usai sholat Maghrib, kami berpisah. Saide masuk ke ruang tunggu dan aku harus kembali ke kampus. Tak sulit untuk menemukan bis yang 24 jam melayani dari Bandara ke berbagai tujuan di Taiwan. Aku harus kembali ke Taipei Main Station (TMS), sehingga aku mencari counter yang menyediakan tiket bis menuju TMS.
Aku foto semua komponen di dalam ruang tunggu penumpang bis. Bagiku menarik mengabadikan semua komponen intelligent transportation system di Taipei. Keasyikan, aku lupa. Aku baru sadar kalau sudah pukul 19.10, itu artinya jadwal bis berangkat. Aku sedikit lari ke counter 10, tempat bis menuju MRT, sial, baru saja ia mundur dan berjalan menuju TMS. Kesimpulannya, bis bandara ini ontime. Di tiket tertera pukul 19.10 wib, jam segitu ia mulai bergerak. Tak kurang juga tidak lebih. Pas.
Aku baru kembali ke TMS pukul 19.30 wib. Menuju bis berikutnya. Senang rasanya bisa merekam salah satu bandara terbaik di dunia: Bandara Internasional Taoyuan.
1 Comment
Hamacaan · April 8, 2016 at 22:45
keren banget brooh, beda lah ama yang biasa2 mah 😀