Mewarnai Tengah Malam Banyuwangi
Bak sinetron di televisi yang sudah menyelesaikan episode terakhir, balada di atas kereta pun usai tersaji. Sebentar lagi akan ada kisah baru yang lebih menarik. Dan kisah itu bernama #GiliWangiTrip. Suatu trip untuk membayar lunas kepengatan pikiran karena ujian akhir semester.
Rencana #GiliWangiTrip sudah berhembus saat usai menggelar trip yang pertama ke Malang. Aku tak sempat mengabadikannya di blog. Karena tempat yang kami datangi sudah tertulis di blog ini. Coban Rondo adalah nama yang tak begitu asing bagi warga Jawa Timur.
Setahun kemudian…
Sebentar lagi kita memasuki stasiun Banyuwangi. Semua orang bergegas. Mengambil tas masing-masing. Perlahan rak terlihat kosong. Aku pun menurunkan tas utamaku. Dua tas kecil lainnya ada di bawah. Aku pastikan tidak ada yang tertinggal.
Laju kereta pelan-pelan menurunkan kecepatannya. Suara remnya berdenyit terdengar sampai ke dalam gerbong. Ketika kereta benar-benar berhenti, penumpang berhamburan keluar. Mirip seperti semut yang meninggalkan sarangnya. Aku lihat jam tangan menunjukkan 23:20, artinya sepuluh menit lebih cepat dari jadwal. Aku ucapkan syukur, akhirnya aku tiba di bumi the sunrise of Java. Ini pertama kalinya aku ke Banyuwangi menggunakan kereta api.
Sepintas tak ada yang aneh dengan suasana stasiun, nyaris sama seperti stasiun-stasin di berbagai kota di Jawa. Entah bagaimana tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal. Perasaanku seperti ada yang kurang. Beberapa penumpang masih ada sebagian kecil di gerbong. Aku mengejar seorang ibu yang ada di depanku. Sedikit berlari, dan aku menanyakan apakah ini stasiun terakhir di Ketapang?
“O, bukan mas, ini Banyuwangi kota, kalau mau ke pelabuhan Ketapang, stasiun terakhir, habisnya ini”, seru ibu muda sambil menenteng tas. Belum selesai ibu berbicara aku sudah lari, sambil berlari ke kereta, aku ucapkan terima kasih kepada ibu itu.
Aku meloncat lagi ke kereta api. Beberapa orang di gerbong bingung aku masuk lagi. Aku duduk di gerbong berbeda. Menghilangkan rasa malu, aku buka ponsel dan tentu saja: ngetweet!
Touchdown Banyuwangi. Dan ternyata salah, aku harus turun di Ketapang. Bukan Banyuwangi kota, oke, harus naik ke kereta lagi. #GiliWangiTrip
— ALAM (@wahyualam) May 29, 2015
Kepada para penumpang, ini adalah stasiun terakhir. Periksa kembali barang bawaan anda, jangan sampai ada yang tertinggal.
Akhirnya..
Beberapa saat setelah bunyi peringatan, kereta berhenti dengan sempurna. Tepat pukul 23:41 aku keluar kereta Tawang Alun, aku tiba di stasiun Banyuwangi Baru. Stasiun ini terletak di ujung paling timur pulau Jawa.
Untung saja, tadi ngga ditinggal kereta pergi. Entah harus berapa menit lagi dari Banyuwangi kota ke Ketapang, dan aku belum tahu naik apa. Ah, sudahlah. Badai sudah berlalu. Sekarang yang perlu dipikirkan bagaimana jalan kaki ke pelabuhan Ketapang. Kata Beny, kawanku yang berasal dari Bali, hanya butuh lima menit dengan jalan kaki dari stasiun ke pelabuhan. Informasi itu membuatku menampik tawaran ojek dan becak. Aku menggelengkan kepala saat dibujuk mengikuti ojek atau becak. Aku berdiri di pinggir pagar sebentar dan melihat Google Maps, aku ikuti, dan benar saja, cukup lima menit sampai Pelabuhan. Terima kasih Beny dan Google Maps!
Kaki terus melangkah menuju pelabuhan. Suasana gelap, beberapa truk besar berseliweran seperti angin malam. Aku tak memerhatikan kanan dan kiri, pikiranku hanya fokus pada tulisan Pelabuhan Penyeberangan Ketapang. Tulisan itu disinari lampu menjadi titik fokus di malam yang gelap. Langkahku terus berjalan, menuju pintu masuk mobil. Langkahku terhenti ketika seorang bapak memberitahuku, bahwa pintu masuk pejalan kaki di sebelah kiri. Responku cepat, usai berterima kasih, aku melanjutkan perjalanan menuju lorong dengan kayu bercat hitam. Aku seperti penumpang pejalan kaki seorang diri. Tak ada penumpang lain di depan dan belakangku. Dua orang pejaga tiket menyambutku. Aku sodorkan uang sepuluh ribu untuk membeli tiket dan aku dapat kembalian dua ribu lima ratus. Aku melenggang ke atas kapal.
Melihat suasana pelabuhan Ketapang yang tak ada sepinya meski tengah malam membuatku teringat pelabuhan Ujung Kamal. Dulunya, pelabuhan Ujung sama seperti ini. Beroperasi dua puluh empat jam melayani penumpang dari Madura ke Surabaya.
Nahkoda dan kru mengucapkan selamat menikmati pelayaran bersama KMP. Trisila Bhakti. #GiliWangiTrip
— ALAM (@wahyualam) May 29, 2015
Saat berada di atas kapal, suasana musik dangdut berbahasa Madura menyihirku seperti naik ferry pelabuhan Ujung-Perak. Aku larut dalam romantisme bersama kapal ferry di tengah malam. Sudah lupa kapan terakhir naik ferry dari Kamal ke Surabaya di tengah malam seperti ini.
Aku melewatkan pergantian hari di atas kapal. Pukul 00:08 kapal baru bergerak menyeberangi selat Bali. Tak lama sekitar 55 menit kapal sudah mendekat ke pelabuhan Gilimanuk. Aku menelpon Saide, kawanku yang dari Riau, untuk menjemputku. Ia bergegas.
Tak sampai lima menit, Saide sudah menelpon. Ia sudah sampai. Sayang, kapal ferry yang aku tumpangi seperti diam tak bergerak. Alamak! Ferry masih antri menunggu giliran.
Tepat 01.20, aku baru keluar kapal ferry. Saide dan Beny sudah menungguku. Aku sudah melihatnya dari bibir ferry. Mobil Avanza putih membawaku pergi ke rumah Beny yang hanya sepelemparan batu dari pelabuhan. Lima menit saja.
Selamat datang di Gilimanuk! Maaf, aku cuma numpang tidur semalam saja. Ngga lebih.
Terkadang awal perjalanan yang sederhana menyimpan cerita yang sederhana pula. Namun momen pertama kali dalam hidup selalu menarik untuk ditulis. Pertama kali jalan kaki lima menit pelabuhan Banyuwangi Baru ke Pelabuhan Gilimanuk, hingga lima menit dari Pelabuhan Gilimanuk ke rumah Beny, sahabat karib yang baik hati juga tidak sombong. Aku percaya: karena sepuluh orang diperbolehkan nginap di rumahnya. Gratis!
0 Comments