Petualangan ‘Kejam’ di Gardens By The Bay

Published by ALAM on

Drama mencari Merlion di Singapura pun berakhir. Namun drama selanjutnya akan segera di mulai. Seperti apa yang sering Saide katakan, hidup ini tak indah jika tak ada drama. Begitu kata dia.

Maghrib tiba. Meski tak mendengar suara Adzan, warna langit Singapura menunjukkan waktu Maghbri. Warna biru perlahan menjadi gelap, bergantian dengan gemerlap lampu di berbagai penjuru gedung. Kami masih berada di bawah patung Merlion. Sorot lampu dari belakangnya membuat warna patung berubah menjadi putih kejinggaan.

Hari sudah petang. Kami harus segera melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Sekali lagi, kami manut apa kata Kemal. Kapten perjalanan kami hari ini.

Kami berjalan kaki menyusuri bawah tanah kawasan perkantoran. Dari stasiun Raffles Place kami menuju stasiun Marina Bay. Tujuan kami selanjutnya Garden by The Bay.

Begitu naik ke daratan, kami langsung mengerti kalau kami sudah berada di bawah Marina Bay Sands. Tiga gedung tinggi kembar yang di atasnya ada perahu yang terdampar.

Suasana sudah gelap dengan romantisnya. Ngga jauh berjalan kami sudah memasuki kawasan Garden By The Bay. Taman bunga vertikal yang aku ketahui dari televisi. Kawasan taman dengan konsep modern yang berada di tengah kota.

singapura wahyualamcom - garden by the bayGarden By The Bay, atau dalam bahasa Chinese: 滨海湾花园; pinyin: bīnhǎi wān huāyuán; Malay: Taman di Pesisiran; adalah taman dengan luas 101 hektar. Taman ini dibuat dalam bagian strategi pemerintah Singapura yang ingin mengubah branding. Dari julukan “Garden City” menjadi “City in a Garden”. Kawasan taman buatan ini berdampingan dengan Bay East Garden, Bay South Garden, hingga Flower Dome.

Usai berfoto-foto di segala penjuru dengan latar berganti-ganti, kami berniat mencari makan.

Cuaca di malam hari cukup membuat tubuh berkeringat. Mungkin karena kami terlalu banyak berjalan kaki, salah kostum, atau karena belum mandi dari pagi.

Usai mencuci muka, rasanya ingin sekali mandi dan berganti pakaian yang mulai basah. Tanpa menghiraukannya, kami melanjutkan perjalanan ke tempat makan. Kemal mengajak kami makan di Satay, tempat makan murah di kawasan ini.

Setiba di Singapura, pantang rasanya membeli makanan di negara ini. Stigma mahalnya makanan di negeri Singa menjalar hingga ke pikiran. Sehingga kami hanya ingin makan di tempat yang sudah diketahui dan dipastikan murah. Jawaban itu semua ada di Kemal.

Kami pun mengikuti Kemal mencari tempat makan yang katanya murah.

Garden by the bay serasa milik kami berlima. Beberapa pengunjung mulai meninggalkan area taman. Kami berlima justru baru masuk. Kemal terus berjalan, kami membuntuti dari belakang.

Lima belas menit berlalu. Rasa lapar yang mendera kami semakin meningkat. Tenaga yang ada di dalam tubuh semakin menurun. Ibarat baterai ponsel, sebentar lagi baterai kami akan habis. Kami butuh makan secepatnya.

Di sepanjang mata melihat, tak ada tanda-tanda keramaian. Suasana sepi. Jalanan yang kami lewati pun sepi. Tak ada satu pun orang yang kami temui. Kemal terus berjalan. Kami merasa ia seperti berputar-putar mengeliling area. Sampai 30 menit pun berlalu begitu saja.

“Kita makan dimana, Mal?” Kata Saide yang sudah kelaparan.

“Kita makan di Satay saja, banyak pilihan dan murah.” Jawab Kemal.

“Siap, Mal. Lanjutkan!” Kataku memberi semangat Kemal.

Kami terus berjalan. Kemal berada di depan. Aku mulai kelelahan. Kakiku terasa bekerja keras mengangkat sepatu pantofel seharian sedari pagi. Entah sudah berapa kali kami berhenti. Air minum 500 ml yang kami beli seharga tiga galon sudah habis. Saide dengan sabar menjaga Fica yang berjalan memakai tongkat kruk.

“Perasaanku ngga enak. Jangan-jangan kita berjalan jauh-jauh, terus makannya McD.” Selorohku.

Dua menit setelah aku mengatakannya, kami melihat logo M yang khas. Benar saja McD terlihat di depan mata. Fica dan Tri sudah mau masuk, namun Kemal melarangnya dan kami harus patuh pada Kapten.

Perjalanan mencari makanan murah pun dilanjutkan.

“Sebentar lagi sampai, kok. Itu di depan gedungnya.”

“Dari tadi kamu bilang begitu, ini kita sudah berjalan hampir sejam.”

“Ya begitu di Singapura. Kita harus membudayakan jalan kaki.”

“Abang Kemal kejam. Mencari makan saja begitu susahnya.” Jawab Fika menyambung pembicaraan.

Benar, perjalanan ini kejam. Kita nyasar saat mencari Merlion, sekarang di kawasan elit, kita begitu lama berjalan kaki hanya untuk makan malam. Pemandangan indah sepanjang perjalanan pun menjadi hambar. Pesona Singapura di malam hari tak lagi elok. Energi yang terkuras habis, keringat yang membasahi, hingga rasa lapar seharian belum makan membuat kami benar-benar lemas.

Tri dan Fica terlihat begitu kelelahan. Kemal terus berjalan. Karena melihat kami masih tertinggal di belakang, ia kembali mendatangi kita dan mengatakan tempat makannya sudah dekat. 500 meter lagi.

Aku dan Saide pun memberi semangat ke Tri dan Fica agar melanjutkan perjalanan kejam mencari makan.

Satay. Kawasan yang kami cari dengan penuh perjuangan akhirnya bisa kami temui. Banyak menu yang ditawarkan. Aku dan Saide memilih masakan Turki. Selain karena murah, kami memilih yang pasti halal saja. Kami makan lesehan berlima di kawasan elit di pinggir danau. Jangan ditanya soal harga, setidaknya sedikit lebih murah dari pada di kawasan patung Merlion.

Makanan pun ludes kami habisi dalam sekejap. Keringat yang membasahi tubuh pun sudah habis terserap kain kemeja. Kami ngga bisa berlama-lama, karena harus segera kembali ke Bandara. Apalagi MRT beroperasi hingga jam sebelas malam saja.

Kali ini aku coba tanya ke orang sekitar untuk rute terdekat ke stasiun MRT. Tak jalan lain, kami harus kembali ke pintu masuk. Kami harus naik dari stasiun Marina Bay menuju bandara Changi.

Dengan membaca peta wisata, Kemal, Saide dan aku memutuskan untuk berjalan lurus saja hingga menemukan stasiun MRT. Tidak kembali ke arah berangkat yang berkelok-kelok seperti mengelilingi kawasan Garden By The Bay.

Jika kalian datang ke kawasan ini, pakaian celana pendek, siapkan sandal/sepatu yang nyaman. Jangan lupa air putih.

Untung kami menemukan tempat minum air putih gratis saat perjalanan pulang ke bandara. Botol air mineral yang kami simpan pun, kini penuh dengan air refill.

Seperti sudah ditakdirkan. Kami menaiki MRT terakhir menuju bandara Changi, ngga tahu bagaimana jadinya jika kami ketinggalan MRT. Meski sudah mendekati tengah malam, namun MRT masih terlihat ramai. Tapi ada satu hal yang membedakan kami dengan penumpang lainnya: kami belum mandi sedari pagi.

Kami berlima kembali ke Bandara Changi untuk numpang tidur. Esok sudah ditunggu Tiger Air menuju Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan.


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

2 Comments

Fahmi (catperku.com) · September 25, 2015 at 19:21

Singapura memang menyenangkan, tiketnyapun murah.
tapi biaya hidupnya ituloh…. mihil XD

    Wahyu Alam · September 27, 2015 at 09:29

    Betul kak Fahmi, bisa bangkrut lama-lama kalau belanja terus di Singapura!

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.