Aku Seorang Guru SD
Aku seorang guru SD. Baru seminggu aku mendapat tugas mengajar di SD pedalaman yang berada tak jauh dari kota Sumenep. Ketika tinggal di desa ini, aku merasa tak ada yang berbeda, desa ini sama seperti desa pada umumnya. Warganya berbusana sederhana, aktivitasnya tak jauh-jauh dari bertani dan berternak. Suasana alamnya perbukitan dengan bebatuan yang gersang jika kemarau. Suara-suara burung berkicauan khas pedesaan terdengar setiap hari.
Namun aku tetap merasakan ada hal yang berbeda. Entah mengapa aku merasa ada suasana magis menyeruak seantero desa. Sulit untuk dituliskan bagaimana yang kurasakan. Suasana magis itu muncul ketika secara tak sengaja aku mendengar suara alat-alat musik dari setiap rumah warga. Sesekali aku mendengar suara gamelan ditabuh, sesekali terdengar suara gendang dari rumah yang berbeda, bahkan suara saronen dari kejauhan pun sering memecah konsentrasiku. Penasaran aku pun mendatangi rumah-rumah yang menabuh alat musik tradisional tersebut.
Ketika aku bertanya kepada tokoh masyarakat, sama sekali aku tak mengira jika desa ini dari dahulu terkenal mempunyai jiwa seni tinggi. Banyak pelaku seni terbaik Sumenep lahir dari desa ini. Bahkan tak hanya pintar memainkan alat musik, desa ini telah dikenal dengan pesona warganya yang bisa menyanyi, menari, menyinden dan bahkan menjadi dalang.
Sejak itu aku mempunyai ide untuk membuat SD desa ini menjadi “panggung†bagi mereka. Aku mencoba mendekati satu per satu warga yang mempunyai alat musik tradisional, untuk bisa memberikan pelatihan memainkan alat musiknya di sekolah. Alat musiknya ditaruh di sekolah, dan mereka sendiri yang melatih anak-anak usai mereka menyelesaikan aktivitasnya seperti bertani dan menyabit rumput. Selain itu, aku juga berdiskusi dengan Kepala Sekolah untuk menjadikan hari Sabtu sebagai hari bebas berkarya. Pagi hari dibuat untuk kegiatan keagamaan seperti mengaji dan bersholawat bersama, setelahnya diadakan kerja bakti program Adi Wiyata dan sorenya digunakan untuk belajar kesenian yang diajarkan langsung oleh sesepuh desa.
Aku memang tak ada latar pendidikan seni. Aku hanya sarjana PGSD yang merasa beruntung berada di desa dengan akar kesenian yang kuat turun-temurun. Aku hanya mengintegrasikan segala sumber daya yang ada.
Perlahan sekolah menjadi ramai di setiap hari Sabtu. Selain warga yang datang melatih siswa-siswa SD bermain alat musik, banyak juga warga yang bermain bersama anak-anaknya untuk sekadar melepas pengat sambil mendengarkan musik tradisional dari halaman sekolah. Aku senang. Setidaknya sekolah tak hanya menjadi lembaga pendidikan namun juga memberikan dampak positif bagi lingkungan di sekitarnya. Aku jadi teringat Ki Hajar Dewantara yang menamakan sekolah sebagai taman bermain. Begitulah seharusnya peran sekolah, tak melulu belajar tentang kemampuan akademik, tetapi juga tempat memupuk dan menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Jiwa seni yang mengalir di dalam diri anak-anak, membuat mereka tak perlu waktu lama untuk memahami alat-alat musik tradisional tersebut. Kemampuan mereka menangkap arahan pelatihnya sangat cepat. Maka aku berpikir untuk mengembangkan ke bidang seni yang lain seperti seni tari, storytelling dan seni teater.
Aku mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa ada legenda yang banyak berkembang di desa ini. Aku mencoba mengumpulkan informasi-informasi yang tersisa dari sesepuh warga. Salah satu yang membuatku penasaran adalah keberadaan batu cenneng. Batu ini dipercaya jika diketuk maka akan berbunyi. Legenda ini sudah menjadi cerita dari mulut ke mulut sejak dahulu. Sayang keberadaannya sekarang tak diketahui.
Rasa penasaranku semakin membuncah. Aku meminta bantuan anak-anak SD untuk menyusuri perbukitan mencari batu itu. Kami menyusuri selama berhari-hari, menembus semak belukar, beradu dengan panas dan melawan terjalnya area bukit yang berbatu. Hingga akhirnya kami menemukan batu yang berada di balik semak belukar. Batu tersebut cukup besar dan berada di ketinggian. Kami harus melewati semak belukar yang berduri. Aku pastikan sekali lagi. Saat aku ketuk batu tersebut, benar batu itu berbunyi.
Aku berdiskusi dengan tokoh masyarakat, menanyakan apakah benar batu ini adalah batu cenneng. Tokoh masyarakat terkejut dan membenarkan bahwa batu tersebut batu cenneng. Sejak itu lokasi batu cenneng kami bersihkan sebagai salah satu warisan legeda masa lalu.
Sepertinya menarik, jika legenda batu cenneng ini dibuat storytelling yang kemudian dibaca oleh anak-anak SD. Selain menjadi ajang latihan tampil di depan, storytelling legenda batu cenneng ini secara tidak langsung menyematkan legenda desa ke pikiran mereka. Sehingga cerita terus ada hingga di masa depan.
Warga mengetahui tentang legenda batu cenneng yang kutulis kemudian dibaca oleh siswa SD. Karenanya aku diminta menghadap seorang keturunan keempat Kyai Musadek yang merupakan tokoh utama legenda batu cenneng tersebut. Tulisanku direvisi dan disempurnakan. Beberapa cerita yang salah diperbaiki sesuai cerita yang sebenarnya. Aku bersyukur mendapatkan sumber utama yang mempunyai nilai historis tinggi.
Selain batu cenneng, desa ini mempunyai sumber kanceng yang juga merupakan salah satu legenda masyarakat. Sama seperti batu cenneng, aku kumpulkan informasi dari warga tentang sejarah legenda sumber kanceng ini. Kemudian aku tulis dan dijadikan teks storytelling yang menarik.
SD kami pun terus berkembang. Satu demi satu legenda kami abadikan dalam bentuk storytelling, tarian ataupun permainan anak-anak. Kegiatan seni dan budaya seperti ini sudah menjadi ruh dari desa ini.
Aku kepikiran untuk mempromosikan desa ini sebagai desa wisata. Kebetulan aku kenal blogger Plat-M di Sumenep. Setelah berdiskusi dengannya, kami sepakat untuk mendatangkan blogger Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk berkunjung ke desa kami.
Tak dinyana, warga desa antusias menyambut kedatangan tamu dari luar. Kami sambut kedatangan blogger bersama warga. Mereka tampak tercengang dan heran melihat penyambutan kami yang luar biasa. Kami kenalkan legenda batu cenneng, kami kenalkan tradisi nanggala –membajak sawah khas Madura-, kami ajak mereka makan masakan asli warga, setelahnya kami hantar menuju sumber kanceng, dan ditutup dengan berbagai pertunjukkan di SD kami. Di batu cenneng dan sumber kanceng kami beri mereka sambutan saronen dan patrol, lalu diakhiri dengan anak-anak SD yang bercerita tentang legenda kedua tempat ini dengan teknik storytelling yang baik.
Sepanjang kunjungan itu kami beri beberapa unsur kejutan yang tak disangka-sangka oleh tamu. Waktu datang ke batu cenneng, kami minta warga memberikan ketela pohon rebus dan pokkak sebagai welcome drink, saat di sumber kanceng teman-teman blogger tak menyangka akan ada anak-anak yang berenang kemudian tiba-tiba bercerita. Bahkan sebelum memasuki SD kami meminta seorang warga berjalan seolah baru datang dari mengambil air siwalan.
Singkat cerita kami berhasil memberikan sajian budaya dan kesenian dipadu dengan kearifan warga desa kepada mereka. Tulisan-tulisan di internet tentang desa kami pun bertebaran. Tamu demi tamu setelah kunjungan blogger berdatangan. Desa kami sering dikunjungi tamu.
Itu sekilas tentang kisahku. Aku adalah Andi Lala dan desa itu bernama Desa Sema’an yang berada di Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep.
Sumber foto: Alomampa Songennep
4 Comments
Uniek Kaswarganti · November 27, 2016 at 06:36
Plat-M memang luar biasa ya kontribusinya dlm #MenduniakanMadura sejak awal. Madura punya banyak potensi yg bisa diangkat.
cumilebay.com · October 28, 2016 at 10:46
Semoga warisan budaya ini terus bisa di lestarikan oleh anak2 jadi ngak hilang begitu saja #Salut
Mahdus Abrori · October 2, 2016 at 07:45
Pokkak? Seperti apa itu?
ALAM · October 2, 2016 at 08:02
semacam minuman terbuat dari gula aren dan kelapa muda