Alomampa 2: Skenario Keren di Desa Wisata Sema’an
Acara di batu cenning sudah selesai. Kami turun ke bawah. Katanya Pak Andi, masih ada tiga tempat lagi yang perlu kita datangi. Kami menuruni bukit yang juga diikuti oleh masyarakat yang lain. Tidak lama kami sudah sampai di sebuah rumah sederhana. Arsitekturnya klasik. Sentuhan Belandanya masih kentara.
***
Kami dipersilahkan duduk. Berbagai makanan seperti mengalir deras datang dari dalam rumah. Satu demi satu piring yang berisi berbagai makanan khas desa sudah berpindah ke depan. Perut kami terasa lebih lapar dari sebelumnya ketika memandangnya. Semakin memandang semakin membuat perut kosong. Ada nasi putih, nasi jagung, ikan laut, tahu tempe goreng, sambal terasi, cengi renges, sambal kacang, rujak timun, telur rebus bumbu, dan sayur kelor campur kelapa. Bingung untuk memilih menu makanan yang mana.
Lima belas menit setelah dipersilahkan, makanan itu sudah berpindah ke perut kami dan hanya menyisakan piring-piring kosong. Puas rasanya makan di siang itu.
Lokasi kedua yang harus kita kunjungi adalah sendeng, sebuah sumber mata air.
Sempat terlintas di kepalaku, bagaimana mungkin ada sumber air di tempat bukit bebatuan. Biasanya lebih banyak mereka kesulitan air jika struktur tanah ketinggian dengan bebatuan. Apalagi sekarang musim kemarau.
Saat sampai di lokasi, kami ternyata disambut lagi oleh ratusan masyarakat yang sudah berkumpul di bibir area sumber. Tepat di atasnya berdiri sebuah masjid. Aku mengikuti pak Andi duduk di tangga bawah masjid. Tangga ini langsung berbatasan dengan kolam yang airnya berasal dari sumber. Airnya begitu jernih dan tidak pernah berhenti mengalir meski kemarau. Kejernihan airnya begitu terlihat saat anak-anak sibuk berenang dengan riang.
Diujung sana sudah siap dua siswi berkerudung, aku tebak ia masih kelas empat SD. Membawakan lagu persembahan buat sembilan blogger yang baru saja menginjakkan kakinya di sini. Lagu yang diiringi musik patrol dengan peralatan sederhana mulai dari bambu hingga tong besar yang terbuat dari plastik. Usai bernyanyi beberapa blogger sibuk memotret mereka.
Aku memilih ngga beranjak dari tangga bersama Pak Andi. Aku melihat di depan kami, beberapa anak kecil yang sibuk berenang di kolam air.
“Gus, silahkan menoleh ke sini. Silahkan cerita!” Seru Pak Andi.
Agus yang berdiri di atas batu itu memulai cerita tentang awal mula sumber ini. Aku yang ngga menyangka dengan skenario itu langsung mengeluarkan iPad yang merekamnya. Akibatnya aku telat beberapa detik karena skenario ini membuatku terkejut dan tanpa kuduga sebelumnya. Anak kecil yang awalnya bermain air tiba-tiba dengan gayanya ia bercerita bak story-teller professional.
Sebuah skenario kecil yang cukup menghiburku. Aku suka hal yang sifatnya spontan seperti ini. Meskipun sebenarnya sudah masuk dalam skenario kecil di dalamnya.Aku menyempatkan berwudhu di kolam ini dan langsung sholat dzuhur dan ashar.
Darul sudah ingin sekali menyemplung ke kolam yang oleh masyarakat lebih sering disebut sendang.
Sendang ini menjadi tempat ketiga. Kemudian, kami akan menuju ke tempat terakhir, SDN Sema’an 1. Keramaian yang ada di sendang berpindah ke SDN Sema’an 1. 500 m sebelum pintu gerbang SD, seorang lelaki paruh baya dengan celana selutut dan bertopi membawa dua bambu yang dipikulnya. Kulitnya gelap karena sering terbakar panas matahari. Ia diberhentikan oleh Pak Andi dan menyuruhnya ke sekolah. Bambu yang dipikul itu berisi La’ang (air aren) yang baru saja diambil dari pohonnya. Aku berpikir ini bagian dari skenario.
“Pak, tadi janjian ngga sama Pak Andi?” Tanyaku ke bapak pembawa La’ang.
Ia tersenyum dan mengatakan tidak. Pak Andi pun mengatakan ini bukan skenario. Ini kebetulan. Tapi aku tetap ngga percaya. Desa ini penuh kejutan dan skenario.
Sejurus kemudian kami memasuki kawasan SDN Sema’an 1 yang sudah ramai dengan pengunjung. Beberapa penjual bakso, snack dan es berjejer di pinggir jalan memanfaatkan keramaian hari ini. Kita disambut Kepala Sekolah, Pak Edi.
Kami dipersilahkan duduk di taman baca, sebuah taman yang tidak boleh dimasuki jika tidak membawa buku. Di taman sederhana ini, kami meneguk La’ang. Rasanya segar. Mungkin karena baru saja diambil dari pohonnya dan juga tempat menyimpannya yang terbuat dari bambu.
Di beberapa sudut taman baca ini terlihat beberapa karya kreativitas siswa. Mulai dari bros kerudung, hingga gantungan kunci aneka ragam dipamerkan. Jika ingin membawa pulang, kami harus membelinya empat ribu rupiah. Kita memborong beberapa karya siswa ini untuk menghargai jerih payah mereka. Bahkan mereka sendiri yang menerima uangnya. Tidak hanya itu, kami juga ditunjukkan bagaimana mereka membuat kreativitas sederhana lainnya seperti tas yang terbuat dari kardus. Banyak siswa yang memakai tas seperti ini. Sungguh SD pedalaman yang kreatif.
Tarian sarong menjadi pertujukan dan kejutan berikutnya dari SD ini. Tarian ini menggambarkan empat wanita yang gemar memakai sarung. Mereka menarik melenggak lenggok di depan beberapa blogger yang sudah siap dengan senjata mematikan mereka: gadget dan kamera. Tidak lama berselang, seorang siswi berpakaian modis khas anak muda jaman sekarang maju dari depan panggung dan menari dan bernyanyi lagu dari salah satu grup vokal cewek ternama di Indonesia. Akhirnya tiga cewek yang awalnya bersarung mengikuti anak jaman sekarang. Menyisakan satu orang yang masih teguh bersarungan. Tarian ini menggambarkan kira-kira begitulah kisah nyata di lingkungan kita belakangan ini.
Ya, di belakang. Di belakang kami ternyata sudah bersiap siswa bertelanjang dada, berlagak a la anak jaman kerajaan sudah siap dengan pertunjukkannya. Antusias kami serasa dipacu. Siswa-siswa itu langsung menjalankan aksinya. Mereka menceritakan tentang tradisi yang biasa dilakukan masyarakat tempo dulu jika mengalami kehilangan barang. Pertunjukkan ini diakhiri dengan memberikan booklet sederhana tentang wisata di desa Sama’an.
Halaman sekolahnya penuh dengan warga yang ingin menonton aksi anak-anaknya. Sesekali badai pasir menjadi suasana khas di SD yang juga menjadi sekolah Adiwiyata. Mungkin, ini adalah minggu teramai di sekolah ini.
Festival mini di sebuah sore di SDN Sema’an menjadi penutup berwisata di desa Sema’an. Desa ini mempunyai jiwa seni yang tinggi. Setiap desa memang mempunyai kisah tersendiri, tetapi yang menjadi pembeda Desa Sema’an dengan desa-desa yang lain adalah mereka mempunyai rasa ingin untuk membuka mata dan mempromosikan potensi dirinya lewat internet.
Pak Andi ingin mengadakan festival ini kecil-kecilan dan mengundang kami lagi untuk bisa datang di jilid kedua. Ini adalah kali pertama desa ini mengadakan keramain dengan konsep desa wisata seperti ini. Harapan mereka, desa mereka bisa dikenal oleh masyarakat luas sehingga tertarik datang ke desa mereka.
Datanglah ke desa Sema’an dan rasakan sensasi penyambutan luar biasa oleh warga desanya!
Catatan: semua foto di atas adalah milik Alomampa Songennep, travel agent dari Sumenep dan baca tulisan pertama saya.
Â
1 Comment