Keintiman Bersama Pulau Dewata
Lima hari diajak teman-teman guru SMAN 4 Bangkalan berwisata ke Bali. Ada rasa canggung dan sungkan. Mungkin karena sudah enam bulan aku tidak pernah bertemu mereka. Betul, Aku bukan lagi guru di sana. Tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan. Aku ingin bercerita tentang wisata yang kami kunjungi. Tentang apa yang keintimanku dengan Bali. Baru kali ini Aku bingung harus memulai darimana. Aku belum menemukan keintiman itu. Aku cemburu dan baru tahu: pulau ini bukan milikku saja. Pulau ini milik banyak orang!
Biasanya jika berkunjung ke sebuah tempat, aku selalu menemukan keintiman dengan tempat itu. Tapi kali ini sama sekali tidak terasa ketika lima hari berwisata di sana.
Perasaan itu dimulai sebelum memasuki Bali. Aku harus mengantri dengan belasan bis dan truk besar untuk masuk ke kapal. Jika melihat iring-iringan bis pariwisata yang masuk ke kapal, aku merasa semua orang Jawa ingin berwisata ke Bali!
Selamat pagi, Bali. Entah berada di kecamatan apa, yang jelas lagi menuju Tanah Lot. Dan aku lagi ada di sini. pic.twitter.com/CSYdQp8JPk
— ALAM (@wahyualam) June 21, 2014
Suasana ramai di Tanah Lot, Tabanan, Bali. pic.twitter.com/w5sVUUqFl1
— ALAM (@wahyualam) June 29, 2014
Dimulai dari Tanah Lot. Perlu delapan belas jam untuk menempuh perjalanan Bangkalan – Tabanan. Di sini kami disuguhi pemandangan indah kebanggaan warga Tabanan. Aku melihat ratusan, mungkin ribuan orang memadati kawasan ini. Mulai yang berjalan, hingga yang berada di kaki Pura. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan suasananya: ramai!
Belum puas menikmati suasana pantai dengan kawasan yang bersih, kami harus segera melanjutkan perjalanan. Hanya semangkuk rujak buah dan beberapa jepret foto yang menjadi kenangan di tempat ini.
Tol Bali. Naiknya hanya 10 ribu. Menghubungkan Nusa Dua-Denpasar-Sanur. Langsung terintegrasi dgn Bandara Ngurah Rai pic.twitter.com/QlNd63NCv2
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
Tol Bali langsung terintegrasi dg Bandara Ngurah Rai, see, there is a plane. #BaliBeauty pic.twitter.com/yWZGepcDeL
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
Tanjung Benoa ini seperti Kenjeran jika di Surabaya, hanya saja berpasir putih dan tempat bermainnya di laut. pic.twitter.com/MKkpEk6VFj
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
Aku ngga ikut ke pulau penyu, aku memilih nyepi di bibir pantai, motret & membaca tentang wisata Bali sambil selfoot pic.twitter.com/Bwlm73qsmN
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
Sok keren dan berlagak kek orang Bali. Sudah mirip belum, Bli? pic.twitter.com/JyoYaIdrIu
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
See, dari tanjung Benoa ini bisa terlihat dari jauh Pulau Lombok, NTB. Hanya 20 menit jika naik pesawat dari Bali. pic.twitter.com/qnV82TEqct
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
Ternyata aku berhadapan dengan Selat Bali. Kalau di peta ini, aku berada di pinggir laut. Tepatnya di Tanjung Benoa. pic.twitter.com/C3Bh0rihPI
— ALAM (@wahyualam) June 22, 2014
Perjalanan kami pun dilanjutkan ke tanjung Benoa. Meski sudah empat kali ke Bali, terakhir ke tempat ini adalah tahun 2005, saat berwisata perpisahan SMP. Ngga ada yang berbeda dengan tanjung Benoa. Ada permainan laut yang memberikan kesan bagi setiap pengunjungnya. Di sini aku harus atur waktu, tidak boleh bermain macam-macam jika tidak ingin ditinggalkan bis. Aku memilih berdiam di pinggir pantai daripada mengunjungi pulau Penyu. Berjalan-jalan di sekitar pantai, merasakan terik matahari, deburan kecil ombak dan hembusan angin pantai yang khas. Just it!
Selanjutnya, kami berkunjung secara marathon ke Pandawa dan Dreamland. Waktu 45 menit di Pandawa hanya cukup untuk berfoto-foto. Aku tidak berani bermain kanopi yang siap disewa dengan hanya dua puluh ribu saja. Pasir putih Pandawa menggodaku untuk duduk sebentar. Terlihat ratusan orang yang lagi membanjiri pantai ini bersama keluarganya. Suasana begitu ramai. Suasana seperti ini membuatku merasa belum menemukan keintiman bersama pantai Pandawa.
Tepat memasuki waktu Maghrib, kami tiba di Dreamland. Suasana gelap menyelimuti suasana parkir bis pariwiwata. Terlihat beberapa wisatawan yang lain sudah pulang, penjual souvenir sudah membereskan dagangannya. Aku memutuskan untuk turun meski beberapa sudah malas turun ke pantai. Aku berjalan mendekat ke Pantai yang terletak di perumahan elit di Nusa Dua ini. Untungnya aku pernah ke sini delapan bulan yang lalu. Kondisi di sore hari menjelang sunset tentu berbeda dengan saat aku berkunjung ketika maghrib. Ah, rasanya pantai ini kehilangan daya tariknya ketika di malam hari. Jika ingin ke Dreamland, datanglah pada jam tiga sore. Karang-karang di bibir pantai bisa menjadi tempat kamu duduk berelaksasi bersatu dengan pantai.
Selamat pagi, Bali. Senin itu ya jalan-jalan. #AntiMainstream pic.twitter.com/KwIssWt6Yy
— ALAM (@wahyualam) June 23, 2014
Berlatarkan danau Batur, Kintamani, Bali. pic.twitter.com/7niV0qJX0E
— ALAM (@wahyualam) June 29, 2014
Danau Badur dari atas. Sayang cuaca sedang mendung dan berkabut. Titik-titik air terasa sesekali menyambar kulit. pic.twitter.com/m148M0yz8A
— ALAM (@wahyualam) June 23, 2014
The largest and cheapest traditional market in Bali. (maybe) #BaliBeauty pic.twitter.com/3K2RFnWg6z
— ALAM (@wahyualam) June 23, 2014
Esok harinya, usai dari Krisna dan pasar tradisional Sukowati kami lanjut mengunjungi Kintamani. Kami harus bergerak dari utara ke selatan menuju Kuta. Dugaanku benar. Karena macet dan terlalu sempit waktunya, kami tiba di pantai Kuta sesaat selepas Maghrib.
Kuta masih menunjukkan romantisme luar biasa meskipun sudah gelap. Suara debur ombak memberikan percikan suasana romantis bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Hanya saja masih ada sesuatu yang tak tampak jika di malam hari. Kecantikan Kuta terhalang gelapnya malam. Sungguh sangat disayangkan!
Teman-teman @SMAN4Bangkalan nonton bareng #NED vs #CHI pic.twitter.com/pcRctPFAYP
— ALAM (@wahyualam) June 23, 2014
Selamat pagi, Selasa. Mendung mewarnai paginya Bali. Hari ini, akan jalan-jalan ke Bedugul. #BaliBeauty pic.twitter.com/uLhRBaxUuI
— ALAM (@wahyualam) June 24, 2014
Hari keempat sekaligus menjadi hari terakhir perjalanan wisata kami di Bali. Usai bergegas pulang dan menyempatkan nonton piala dunia di lobby Santosa Hotel, kami berangkat mengunjungi Joger. Ini adalah pusat oleh-oleh kaos, kemeja dsb kelas wahid di Bali. Kualitasnya tidak perlu diragukan. Aku sudah berniat membelikan empat kaos. Untukku, bapak, ibu dan Diyah.
Agak kaget luar biasa, ketika ada satu toko dimasuki oleh lebih dari 20 bis pariwisata. Bisa dibayangkan bagaimana penuh sesaknya. Aku harus mengantri sejam untuk bisa berada di depan kasir dan membayar semua yang aku beli. Mungkin, ini adalah waktu terlama dan tersusah dalam sejarahku untuk membeli suatu barang. Tiga puluh tujuh kali lebih dahsyat daripada antri sembako. Gila!
Bersama keluarga besar @SMAN4Bangkalan di Bedugul, Bali. pic.twitter.com/1991wZokPX
— ALAM (@wahyualam) June 29, 2014
Usai berdesa-desakan, kami menuju Bedugul. Sayang hujan membuat Bedugul seperti bersembunyi di balik keindahannya. Bedugul sudah tidak menarik lagi, kami memutuskan untuk tidak turun dan melanjutkan perjalanan ke pantai Lovina.
Selamat datang di pantai Lovina. Pantai berpasir hitam. #BaliBeauty pic.twitter.com/wxp197VJm9
— ALAM (@wahyualam) June 24, 2014
Kalau beruntung kita akan mendapat Lumba-lumba bermain. Makanya, pantai Lovina ini disebut pantai Lomba-lomba. pic.twitter.com/7Ovy0sMqwL
— ALAM (@wahyualam) June 24, 2014
Pantai Lovina menjadi tempat wisata terlama yang kita kunjungi. Pantai yang terletak di pantai utara pulau Bali ini mempunyai pasir hitam. Dengan latar pegunungan, pantai ini lebih sepi dari pantai-pantai yang kemarin kita kunjungi. Ada menara yang menjulang dengan ujung Lumba-lumba. Jika beruntung, kita akan melihat Lumba-lumba berloncatan ke udara dari pantai ini, katanya.
Selesai berkunjung ke Lovina, selesai juga perjalanan kami selama lima hari di Bali.
Harus aku akui, perjalanan kali ini membuatku seperti kurang intim dengan Bali. Mungkin karena terlalu banyak tempat wisata yang dikunjungi, akhirnya membuat kami seolah kurang puas. Rute dan jarak juga perlu dipikirkan kembali. Berkunjung wisata yang cantik di Bali, seharusnya tidak perlu berkejaran dengan waktu. Dan yang paling penting, bagi traveler sejati, pilihlah waktu diluar liburan sekolah. Jika tidak, kalian tidak akan merasakan keintiman dengan tempat yang kalian kunjungi.
Aku boleh saja tidak intim dengan Bali. Namun aku tetap merasa kehangatan bersama keluarga besar SMAN 4 Bangkalan. Terimakasih sudah mengajak saya berwisata. Terima kasih Bu Ninik, Bu Fika, Bu Ani, Pak Is dan Pak Fauzi. SMAN 4 Bangkalan masih menganggap aku keluarganya. Justru aku lebih merasa intim dengan guru-guru SMAN 4 Bangkalan daripada dengan objek wisata di Bali. Sometimes, family will be number one for you, guys! One big family, SMAN 4 Bangkalan!
***
Note:
Jika gambar di twitter belum sempurna, silahkan refresh kembali halaman ini dengan menekan tombol F5 pada keyboard.
Di twitter tertera Danau Badur, yang benar adalah danau Batur.
3 Comments
Indah Juli · July 2, 2014 at 01:49
Bukannya kamu pernah ke Bali tahun 2011? Asean Blogger.
Kalau selesai nulis tuh jangan buru-buru diposting. Dibaca ulang, diresapi. Selain banyak pengulangan kata, typo, tulisan ini nggak seperti biasanya tulisanmu. Nggak ada soulnya. Apa krn kurang intim?:p
fika · June 30, 2014 at 12:39
Nice! See you on the next trip ya^^,
Wahyu Alam · June 30, 2014 at 13:21
Thanks, Fika!