Kesan Pertama Tentang Taiwan

Published by ALAM on

wahyualam.com - form pertama di taiwan

Setiba di bandara, masih terasa mimpi saja sampai di sini. Juga tak begitu bangga, karena masih buanyak orang yang bisa sepertiku, atau bahkan melebihinya.

Rasa rindu rumah langsung hadir ketika pertama kali masuk dorm. Bau kamar mandi, bau sabun dan bau-bau aneh yang langsung menusuk hitung. Sempat kaget dan tidak bisa menerima. Apalagi kamar yang akan aku tempati, masih bertumpuk barang orang lain. Aku hela nafas panjang. Mencoba rileks.

Aku bersihkan perlahan dan aku mulai suka dengan desain meja dan kasurnya. Pas sekali. di bawah untuk bekerja dan belajar, di atas untuk istirahat. Hari pertama, aku tidur begitu nyenyak karena kepalaku pusing. Tubuh bergoyang seperti ada gempa.

Seminggu di sini, seperti begitu lama, berjalan melambat, sepertinya sehari itu 25 jam.

Seminggu praktis keluar kampus hanya untuk Jumatan. Sisanya lebih banyak di dorm dan kantin. Sesekali nongkrong di dekat lapangan voli, sesekali disibukkan keliling kampus, ngurus dokumen itu dan ini. Rasa capai dua kali lipat karena di sini orang berjalan begitu cepat. Zet-zet-wet-wet.

Makanan berbabi dan tak berbabi berjejer. Bedanya tipis. Makan tidak bisa seenaknya. Sekarang harus mikir, mana yang halal dan tidak. Saat makan, suara tawon bergemuruh. Semuanya bahasa Mandarin. Tak ada satu kata pun yang aku mengerti.

Banyak makanan buatan. Benar, bentuknya seperti daging, teksturnya sama, rasanya mirip, sepintas tak ada bedanya. Namun kandungan di dalamnya yang berbeda, karena terbuat dari sayuran. Teknologi pangan di Taiwan sangat maju.

Banyak makanannya instan, bisa langsung masak hanya bermodalkan microwave. Beli soto instan dengan microwave mungkin baru di sini aku melakukannya. Jangan ditanya rasanya: hambar. Makan ngga banyak pilihan. Rasanya jika sudah seminggu ini, aku makannya itu-itu saja. Sayur-sayur dan sayur. Lama-lama benar-benar menjadi vegetarian sejati.

Apa-apa elektronik, beli minum bisa self-service, tinggal masukkan koin sekian dolar Taiwan, semuanya beres. Mau nyuci baju, mengeringkan baju, foto pas 5x5cm, menyewa sepeda, hingga fotocopy dokumen bisa dilakukan sendiri. Tanpa bantuan manusia.

Fasilitas penunjang di dormitory terbilang lengkap. Toilet banyak, lengkap dengan ada air panas dan air dingin. Lengkap. Kebanyakan pintu di kampus sudah otomatis. Masuk dorm harus pakai kartu mirip hotel berbintang di Jakarta.

Satu hal yang aku syukuri, aku sekamar dengan sesama muslim. Tak semua teman seberuntung kami. Lebih sering berjemaah di dorm, sesuatu yang mungkin jarang dilakukan di kamar lain. Pak Zen, teman satu dorm, kalau sholat harus ke fakultas, karena mereka ngga enak sholat di depan teman non muslim.

Apalagi ya? cuaca di sini biasa. Mirip di Surabaya. Cuma lebih sejuk karena dikelilingi bukit. Tapi kalau sudah Maghrib, anginnya menusuk. Suatu sore sempat hujan, tapi ngga deras yang super seperti di Indonesia. Lebih mirip gerimis.

Sehari makan di dalam kampus bisa menghabiskan 50-75 dolar, artinya sekitar 25 ribu – 37 ribu rupiah. Jika mau enak dikit, harganya tentu akan lebih mahal.

Apa lagi ya, sementara itu dulu ya sahabat blogger, kapan-kapan ditulis yang lain. Karena banyak keunikan tinggal di Taiwan.


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

4 Comments

Erna · October 8, 2015 at 03:48

Nanti kalo pulang ajarin baca tulisan macam diatas itu ya bun…

    Wahyu Alam · October 23, 2015 at 04:37

    Nah, masalahnya aku juga ngga paham, mbak. Hihihi..

Fahmi (catperku) · September 30, 2015 at 11:33

wah wah! semangat mas wahyu! ditunggu cerita-ceritanya dari taiwan ya 😀

    Wahyu Alam · October 23, 2015 at 04:33

    Siap, mas.
    Tapi lebih keren om Fahmi. Bisa kemana-mana. Cerita di blognya bikin ngiler.

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.