Menapaki Taipei, Sejarah Taiwan dan Hubungannya dengan Cina

Published by ALAM on

Menapaki Taipei dan Sejarah Taiwan: Canggungnya Hubungan Para Penerus Chiang Kai-shek dengan Cina

Ada beberapa pertanyaan yang baru muncul ketika tinggal di Taiwan. Aku belum mendapatkan secara detail dan rinci jawabannya. Mengapa Indonesia belum punya kedutaan besar di Taiwan. Manakah yang benar: Taiwan merupakan negara sendiri atau bagian dari Cina. Bagaimana awal mula itu bisa terjadi.

Semua pertanyaan itu selalu ada di kepala. Jika ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, aku harus membaca sejarah Taiwan lebih banyak. Hal yang sama sekali aku tidak terlalu suka: membaca buku sejarah, apalagi jika ada hubugannya dengan sejarah politik.

Hingga akhirnya menemukan artikel menarik dan ringan yang ditulis oleh Wikan Sakarinto. Tulisan singkat ini secara lugas dan singkat mampu menjawab semua pertanyaanku selama ini. Tulisan ini seperti rangkuman dari buku-buku tebal sejarah Taiwan. Bahasa yang renyah membuat nyaman untuk dibaca oleh siapa saja yang tidak terlalu suka sejarah sepertiku.

Aku jarang sekali repost blogging. Namun kali ini aku merasa hal ini perlu. Setidaknya untuk menyimpan tulisan menarik ini di blog. Selamat membaca!

***

Menapaki Taipei dan Sejarah Taiwan: Canggungnya Hubungan Para Penerus Chiang Kai-shek dengan Cina

Pemandangan yang terlihat di pagi hari itu membuat otak sempat menyimpulkan saat itu tidak sedang berada di Taipei, Taiwan. Padahal, pagi hari itu saya tiba di pusat kota Taipei, di daerah Ximen bersama sopir taksi yang sejam sebelumnya mengangkut saya dari Taoyuan Airport –yang nama aslinya adalah Bandara Internasional Chiang Kai-shek– dan terletak di kota Taoyuan, Taiwan.

Tidak menduga sebelumnya, ternyata butuh beberapa saat untuk memastikan koordinasi otak dan mata tentang keberadaan di pagi hari itu di pusat kota Taipei. Karena memori otak sempat terkunci oleh kemiripan pemandangan di pagi itu dengan pemandangan di Jepang.

Taiwan 4

Tak banyak yang bisa diceritakan dari peristiwa di pagi hari itu, karena harus segera menitipkan koper di hotel lalu bergegas menuju National Taiwan University of Science and Technology (NTUST), Taipei. Dari hotel menuju ke NTUST ditempuh dengan MRT, berupa subway atau kereta bawah tanah, yang cepat, mudah, dan murah!

Kemudian, jadwal seharian dihabiskan untuk duduk mengikuti dan melakukan presentasi di sebuah seminar/konferensi ilmiah internasional ‘langganan’, yaitu ICMT (Internasional Conference of Mechatronics Technology) 2014, yang tahun lalu giliran penyelenggaraannya jatuh ke NTUST. Tiap tahun, universitas penyelenggaranya selalu berbeda-beda di negara yang berbeda pula. Tahun 2015 ini, konferensi internasional tersebut akan diselenggarakan di Jepang.

Pandangan Mata dari Menapaki Taipei

Seusai seharian beraktifitas di NTUST, dilanjutkan pada sore dan petang harinya kembali berjalan-jalan untuk menelusuri Taipei lebih jauh. Dan terulang lagi, saya sempat mengalami ‘kehilangan kesadaran’ sepersekian detik untuk menyimpulkan ini bukan Jepang.

image

Mengapa mirip Jepang? Karena wajah mereka sekilas mirip wajah orang Jepang dan saya masih tidak mampu memahami tulisan Kanji sama sekali! Tulisan Kanji tersebar dan digunakan di mana-mana di Taipei, dan prior-memory saya sudah terlanjur tercetak persepsi tentang pusat Kota Jepang yang juga dipenuhi huruf Kanji. Taiwan –sama dengan Jepang– menggunakan huruf Kanji yang sejak ribuan tahun yang lalu sudah digunakan di Cina daratan.

Di Jepang, misalnya, di pusat Kota Kobe atau Osaka, orang-orang juga berlalu-lalang memadati jalan-jalan yang dipenuhi toko-toko yang penampilannya stylist dan glamour. Mobil dan kendaraan umum juga sama-sama membuat antrian padat, tapi bukan kemacetan, terutama di setiap lampu merah perempatan. Jumlah kendaraan pribadi yang beredar di jalan sangat terkontrol, berkat berfungsinyasubway, kereta bawah tanah, dan fasilitas kendaraan umum lainnya. Ada jalan besar, ada pula jalan kecil.

Apakah padat dan macet? Padat, iya. Tapi, macet, jelas tidak. Lalu lintas memang padat, tapi tak terjadi kemacetan lalu lintas. Di setiap titik selalu terlihat stasiun kereta bawah tanah dan halte bis kota. Tidak terlihat aksi ugal-ugalan di jalan, dan zebra cross betul-betul ada dan bermartabat, karena kendaraan bermotor kalah derajatnya ketika akan melintas zebra cross yang sudah disinggahi pejalan kaki.

Satu lagi yang mirip di Jepang, yaitu cukup dengan berbekal memahami peta jalur bis dan subway –yang memang mudah dipahami, kita bisa mencapai hampir semua tempat penting di Taipei. ‘Konsekuensi’nya satu, yaitu badan makin sehat bugar karena harus menggenapi perjalanan kita dengan berjalan kaki, sekitar 10-15 menit dari stasiun subway untuk mencapai tempat yang dituju.What a perfect combination! Cepat, murah dan sehat. Tinggal diset saja jadwal dan waktunya, kapan kita harus tiba di stasiun MRT karena kereta subway hampir tidak pernah datang terlambat. Kalaupun ketinggalan kereta subway, tidak perlu cemas yang berlebihan karena kereta subway selalu datang setiap 5 s/d 12 menit sekali.

Kemudian, kalaupun ada pengamen atau pemusik jalanan di Taipei, konsep penampilannya tidak jauh berbeda dengan di Jepang. Yaitu, betul-betul terkonsep seperti pertunjukkan profesional. Hanya saja pertunjukan itu ditampilkan di pinggir jalan mengharapkan para pejalan kaki berhenti dan mengapresiasi penampilan mereka. Pertunjukan mereka mampu menghentikan langkah kaki banyak orang di sekitarnya, tidak sebentar karena berlangsung selama beberapa lagu. Saya, sempat ‘terhenti’ setengah jam menapaki Taipei gara-gara terhanyut oleh kualitas performance para pengamen jalanan tersebut.

Taiwan 2

Namun akhirnya lama-kelamaan pemandangan di Taipei mulai jelas perbedaannya dengan Jepang. Perbedaan itu baru bisa ditemui ketika sudah masuk lebih ke dalam pusat keramaian tersebut.

Pertama, tingkat kebersihannya masih belum mampu menandingi level kebersihan lingkungan pertokoan dan pusat kota di Jepang. Untuk yang satu ini, bahkan kota-kota besar di Eropa dan Amerika pun bisa dikatakan bertekuk lutut di hadapan kualitas kebersihan kota-kota di Jepang. Tapi wajar, memang sangat sulit menandingi Jepang untuk urusan kebersihan.

Kedua, pedagang dengan gerobak dorong hampir tidak pernah terlihat di kota-kota besar di Jepang. Di Taipei, ternyata cukup banyak penduduknya yang masih harus ‘berjuang’ turun ke jalan berjualan gorengan. Beberapa warung makannya juga ada kemiripan dengan warung nasi goreng (oriental) di Jakarta. Yaitu dapurnya terletak di depan, dengan tujuan agar aroma masakannya menggoda setiap pejalan kaki yang melintasi warung atau restoran kecil mereka. Keberadaan pedagang kaki lima dan penjual suvenir di pinggir jalan juga relatif mudah ditemui di Taipei.

Ketiga, harga barang dan makanan di Taipei sedikit di bawah harga di Jepang.

Keempat, setelah jadi ‘pengamat mode’ jalanan, saya menyimpulkan orang-orang Jepang lebih serius untuk mempersiapkan penampilan mereka sebelum meninggalkan rumah atau apartemen mereka. Orang-orang Taipei terlihat lebih santai atau simpel di dalam berpenampilan. Tapi, saya terpaksa harus tidak memperpanjang lebih jauh ulasan tentang style berpakaian orang Taipei, karena saya akui minim pengetahuan dan pemahaman mengenai fashion. Jadi, anggap saja ini opini orang yang awamfashion.

Bila dibandingkan dengan Kota Shanghai, Cina, sebenarnya kota metropolitan di Cina itu jauh lebih memiliki kemiripan dengan Taipei, dibandingkan kota-kota di Jepang. Selain kemiripan tingkat kebersihan dan keberadaan pedagang gerobak dorong, keduanya memiliki kedekatan sejarah. Karena dalam waktu yang masih belum terlalu lama berselang, yaitu kurang dari seabad yang lalu, leluhur bangsa Cina dan leluhur bangsa Taiwan betul-betul resmi berada di bawah satu pemerintahan, yaitu Kekaisaran Dinasti Qing (baca: Ching). Bahkan setelah kejatuhan kekaisaran Dinasti Qing, Partai Nasionalis Cina yang dimotori Jenderal Chiang Kai-shek sempat menjadi pemimpin pemerintahan Cina. Kisah tentang ‘kebersamaan’ mereka di awal abad 20, sampai dengan terpisah resmi seperti saat ini tetap selalu menjadi salah satu hal menarik bagi para penyuka penelusuran lorong waktu sejarah Cina.

Kalau mau mencari kemiripan di antara ketiganya (Taipei/Taiwan, Shanghai/Cina dan kota-kota di Jepang), ada satu kesamaan yang paling membekas yaitu kemampuan penduduknya berbahasa Inggris sungguh merepotkan orang asing yang datang berkunjung. Sungguh sulit menemukan orang yang bersedia berbicara Bahasa Inggris kecuali di meja front-office hotel. Sopir taksi pun jarang bisa diharapkan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Tapi uniknya, banyak sekali turis asing yang terlihat menikmati keindahan Taipei.

Jadi, most likely, faktor-faktor utamanya lebih karena kekuatan/daya tarik objek-objek wisatanya, kemudahan dan kenyamanan sistem transportasi umum, dan promosi pariwisatanya juga meyakinkan. Serta last but not least, mereka berhasil meyakinkan orang asing untuk merasa aman berada di Taipei.

Taiwan dan Cina Sama-Sama Menyanjung dan Me-legenda-kan Pemimpin Besar Masa Lalu

Satu lagi kemiripan Taiwan dengan Cina, mereka sama-sama begitu menyanjung pemimpin besar mereka masing-masing. Cina mengabadikan jasa pemimpin besar mereka yaitu pendiri Partai Komunis Cina, Mao Tsetung (baca: Mao Zedong). Sementara itu, patung raksasa Jenderal Chiang Kai-shek (CKS) hingga kini masih ‘duduk nyaman’ dan megah, ‘dijaga’ oleh pasukan khusus di Museum Chiang Kai-shek Memorial Hall, Balai Peringatan Chiang Kai-shek.

Pada hari ketiga, setelah seluruh kegiatan konferensi selesai, panitia ICMT 2014 membawa seluruh peserta mengikuti tour sehari jalan-jalan dengan bis mengunjungi berbagai spot pariwisata terkenal di kota Taipei. Salah satu yang kami kunjungi adalah CKS Memorial Hall. Dan kebetulan sekali, saat itu sedang diselenggarakan sebuah pesta atau festival budaya di lapangan besar di depan CKS Memorial Hall.

CKS 3

7357134282_7a64081c1a

Di dalam CKS Memorial Hall, upacara pergantian pasukan penjaga patung raksasa CKS-pun juga dilakukan dengan tidak main-main. Mereka rutin menggelar parade militer kecil-kecilan yang dapat disaksikan langsung oleh para pengunjung museum. Mirip dengan pasukan penjaga istana Ratu Inggris, pasukan penjaga berdiri di samping patung CKS dengan posisi siap tegap sempurna, tanpa ada gerakan sedikitpun, disertai mimik serius, dan tidak satu patah kata yang terucap. Tak pelak lagi, gaya serius pasukan penjaga patung CKS memancing banjir jepretan termasuk selfie dari para pengunjung museum.

Chiang Kai-shek Memorial Hall merupakan museum yang khusus dibangun untuk mengenang jasa-jasanya. Semua tentang kehidupan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Chiang Kai-shek dipajang rapi disana, termasuk beberapa mobil dinasnya yang masih tampak elegan dan terawat. Sangat kentara sekali bangsa Taiwan meng-agung-agungkan sosok dan kharismanya. Sekilas memang terlihat inilah cara Pemerintah Taiwan mem-propaganda rakyatnya dan masyarakat dunia agar meyakini dan melestarikan kebesaran sejarah Taiwan, yang notabene dulu terpaksa ‘mengalah’ keluar dari Cina daratan. Tapi apapun itu, bangunan CKS Memorial Hall memang sungguh megah, dan dipenuhi ornamen Cina kuno.

Bangsa Taiwan Mengakui Leluhurnya Berasal dari Cina Daratan

Di depan CKS Memorial Hall terdapat sebuah lapangan raksasa dikelilingi taman bunga dan kolam yang indah. Di sekitar lapangan raksasa tersebut terdapat beberapa bangunan besar yang arsitekturnya menyamai istana kaisar di Cina. Bedanya kalau di Taiwan, ‘istana-istana’ tersebut sejak awal difungsikan sebagai musem dan gedung pertunjukkan seni.

Semua itu menggambarkan bahwa bangsa Taiwan tetap meyakini bahwa leluhur mereka adalah orang-orang Cina daratan yang hidup ratusan tahun yang lalu. Namun kalau bicara hubungan mereka dengan saudara-saudaranya di Negeri Cina daratan saat ini, wah… bisa dikatakan agak “complicated” (meminjam istilah alay ala medsos). Pasang-surut hubungan Taiwan-Cina bisa dibaca di berbagai media. Intinya mereka masih canggung dan sedikit ‘sensi’ bila disinggung tentang hubungannya dengan Cina.

Satu lagi yang saya amati, pengakuan terhadap leluhur dari Cina daratan sepertinya lebih ditujukan kepada mereka yang berasal dari suku bangsa Han. Orang-orang Han menjadi penguasa Cina sebelum bangsa Manchuria berhasil menaklukkan Dinasti Ming. Yaitu dinasti terakhir yang dianggap mewakili suku asli Cina (suku bangsa Han). Ada semacam tendensi tidak nyaman mengakui keberadaan keluarga keturunan Manchuria sebagai kaisar-kaisar terakhir Cina. Karena terlihat sekali pada sebuah festival budaya di depan CKS Memorial Hall, gaya rambut cowok dikepang ala Dinasti Qing atau bangsa Manchuria tidak terlalu tampak di tengah keramaian peserta festival tersebut. Gaya berpakaian ala Dinasti Ming dan beberapa dinasti bangsa Han sebelumnya, seperti Song dan Tang, lebih nampak dikedapankan oleh para peserta festival.

Taiwan 3

Spot-Spot Menarik di Taipei Selain CKS Memorial Hall

Selain CKS Memorial Hall, sebenarnya masih ada tiga tempat lagi yang saya kunjungi, yang asyik untuk dikupas melengkapi lorong waktu sejarah Taiwan. Yang pertama adalah ‘Sun Yat Sen Memorial Hall’ yang didirikan untuk mengenang pendiri Kuomintang, atau sering dikenal partai nasionalis Cina. Museum Sun Yat Sen memang tidak sebesar CKS Memorial Hall. Namun meski patung raksasa Dr. Sun Yat Sen tidak sesebesar patung CKS, ternyata juga disediakan pasukan penjaga khusus. Ini merupakan tanda bahwa bangsa Taiwan menganggap sakral hasil penggulingan kekuasaan kaisar Qing terakhir, yaitu oleh pemberontakan besar yang dipimpin oleh Sun Yat Sen.

Yang kedua adalah Menara ‘Taipei 101′. Menara pencakar langit ini merupakan simbol modernisasi Taiwan. Dari menara ini kita bisa betul-betul melihat seluruh penjuru kota Taipei dari ketinggian setengah kilometer (1.667 feet atau setara 508 meter).

Dan yang ketiga adalah ‘National Palace Museum’, tempat penyimpanan harta karun Cina yang dibawa lari oleh Chiang Kai-shek ke Taiwan ketika melarikan diri dari desakan kaum komunis pada tahun 1949. Keberadaan harta karun tersebut dikonfirmasi oleh pemerintah Cina – merupakan harta karun yang sangat bernilai – jatuh ke tangan kaum nasionalis. Jumlah benda berharga yang diangkut diperkirakan mencapai sekitar 650.000 buah, termasuk koleksi-koleksi bernilai tinggi dari Istana Kaisar ‘Forbidden City’ (Kota Terlarang) di Beijing, Cina. Banyak orang bilang, kalau Forbidden City di Beijing sekarang itu adalah sekedar tampak luarnya, karena hampir seluruh isi di dalamnya sudah berpindah ke National Palace Museum di Taipei.

Pada artikel ini tidak diulas lebih jauh tentang Museum Dr. Sun Yat Sen, Menara ‘Taipei 101′ dan National Palace Museum.

Spot lain taipei

Tertarik menelusuri lebih jauh, menilik lorong waktu sejarah Taiwan?

Sejarah Taiwan dan Cina: Menelusuri Canggungnya Hubungan Taiwan dan Cina

Perpisahan mereka dipicu oleh peristiwa politik yang memisahkan mereka terjadi di akhir tahun 1940an, atau lebih tepatnya peristiwa yang terjadi adalah perang saudara. Jenderal Chiang Kai-shek akhirnya terpaksa mengungsi bersama pengikutnya ke sebuah pulau yang sebelumnya lebih terkenal dengan nama Pulau Formosa, yang artinya ‘indah’ menurut orang-orang Portugis yang beberapa abad silam pernah menjadi penguasa di pulau tersebut.

Mundur sejenak ke tahun akhir 1800an, pada waktu itu, Cina diperintah oleh kaisar yang memerintah seolah-olah seperti dewa, alias kekuasaan tanpa batas. Dr. Sun Yat-sen yakin bahwa Cina perlu ditata dengan cara yang baru melalui revolusi. Pada tahun 1895, ia memimpin suatu pemberontakan di Kanton-Cina, tetapi dapat diredam oleh pasukan kaisar. Secara keseluruhan, ia memimpin sebelas kali revolusi terhadap Dinasti Qing dan akhirnya berhasil menumbangkan kekaisaran, sehingga kaisar harus meletakkan jabatannya. Kisah perjuangannya didokumentasikan dalam berbagai film laga mandarin.

Setelah jatuhnya kekaisaran Dinasti Qing yang merepresentasikan tertancapnya kuku kekuasaan bangsa Manchuria memerintah Cina sejak tahun 1600an, Cina selanjutnya menjadi Republik pada tahun 1911, yang didirikan oleh Sun Yat-sen. Ia juga pendiri partai tertua dalam sejarah modern Cina, Kuomintang (KMT), menjadi pejabat presiden pada tahun 1912, dan menjadi presiden pada tahun 1923-1925. Pada tahun 1925, ia meninggal. Tiga tahun kemudian, salah seorang pengikutnya, Chiang Kai-shek terpilih menjadi presiden.

Pada tahun 1921, lahirlah Partai Komunis Cina yang akhirnya menggenapi duo kekuatan politik tradisional papan atas pada zaman itu bersama partainya kaum nasionalis (atau ‘Kuomintang’). Kedua partai tersebut akhirnya memang terbukti tidak bisa hidup berdampingan di Cina. Kaum komunis di bawah pimpinan Mao Tse-Tung akhirnya merebut dukungan yang jauh lebih kuat dari rakyat Cina, dibanding kharisma Chiang Kai-shek dengan senjata andalannya yaitu paham nasionalis. Sehingga setelah berbagai perang yang menumpahkan darah banyak tentara dari kedua kubu, memaksa Chiang Kai-shek memulai perjalanan sejarah ‘babat alas’ mundur teratur menuju pulau Formosa yang berjarak 160 Km dari daratan Asia. Pulau cantik ini kalau dilihat di peta bentuknya seperti daun raksasa digelar di Lautan Pasifik itu. Dan peristiwa bersejarah itu terjadi pada bulan Desember tahun 1949.

0a45ca0faf2acff1a543d3e57bcb44a2

Jenderal CKS memilih mundur untuk menyusun kekuatan, bersama dengan sekitar 600.000 pasukan dan ribuan rakyat pendukung setianya. Di awal berdirinya Taiwan, dia tetap konsisten menunggu pulihnya keadaan untuk kembali ke Cina, tentunya bersama pasukan dan para pengikutnya. Namun hal itu tak pernah terjadi hingga dia meninggal dunia pada tahun 1975 di usia 87 tahun.

Ketika Jenderal CKS melarikan diri ke pulau Formosa, pemerintah Cina tak kepalang tanggung kemarahannya. Kecurigaan mereka atas kemungkinan kaum nasionalis kembali ke Cina daratan semakin menambah buruk situasi dan mengeluarkan klaim bahwa Taiwan adalah sebuah propinsi di bawah pemerintahan Cina yang berusaha untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang sah.

Tak Hanya Kedua Negara, PBB dan Negara Lain pun Ikut-ikutan Canggung!

Bahkan yang masih menjadi PR besar bagi bangsa Taiwan adalah, hingga saat ini masih cukup banyak negara di dunia ini yang tidak mengakui Taiwan sebagai Negara mandiri yang berdaulat penuh. Dulu di dalam PBB, Chiang Kai-shek sebenarnya merupakan salah satu pendiri PBB. Namun  pada tahun 1971 Taiwan dihapuskan keanggotaannya oleh PBB karena hanya mengakui One China dimana Cina adalah wakil yang sah atas seluruh Cina, dan Taiwan adalah sebuah provinsi yang termasuk dalam kedaulatan Cina.

Termasuk Indonesia, yang masih merasa ‘sungkan’ terhadap pemerintah Cina, sehingga mengambil sikap politik untuk tidak memiliki Kedutaan Besar di Taiwan. Indonesia dan Taiwan resminya tidak memiliki hubungan diplomatik. Tapi pada prakteknya pemerintah Indonesia punya semacam kantor perwakilan di Taiwan yang fungsinya mirip-mirip kedutaan besar. Selain itu, jumlah tenaga kerja Indonesia di Taiwan jumlahnya memang tidak bisa dikatakan sedikit. Sehingga dibutuhkan hubungan dengan pemerintah Taiwan, namun tidak sampai membuat runyam hubungan diplomatik dengan pemerintah Cina.

***

** Semua foto dan tulisan ini diambil dari www.isigood.com


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

2 Comments

Riza Prapascatama Agusdin · October 25, 2015 at 21:58

Mungkin pertanyaan bisa saya jawab mas
ini dr bbrapa hal yg sy tau, mungkin saja bs salah
Karena indonesia sdh pnya/mendirikan kedutaan besar nya di cina, karena sdh ada di cina secara peraturan tdk blh untuk buat kantor kedutaan di taiwan dan dr apa yg sy dengar taiwan msh bagian dr cina, merea blm sepenuhnya mendapat kebebasan nya, awal mula itu terjadi karena bapak chiang kai shek

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.