Kwanyar: Sunan Cendana dan Desa Karang Entang

Published by ALAM on

depan masjid cendana kwanyarPantai Rongkang telah memberikan ucapan selamat datang. Sepeda motor kami kembali berjalan. Menyusuri setiap jengkal aspal selatan Madura. Terik matahari sudah menyengat. Aku memakai helm untuk melindungi kepala dari sinar matahari. Meski masih pukul sepuluh pagi, tapi cuaca sudah begitu panas.

Aldi menyuruhku berhenti. Ia menunjukkan perahu nelayan yang sedang parkir di pinggir pantai. Perahu itu naik turun terbentur gelombang. Bercat putih menghadap selat Madura seolah siap menantang ombak yang besar. Beberapa nelayan hanya melihat tingkah kami yang mengabadikannya. Sepertinya mereka sedang beristirahat menunggu laut tenang. Jika angin kencang seperti saat ini riskan untuk melaut. Ah, itu analisa dalam kepalaku saja.

Sebenarnya pemandangan perahu yang terparkir itu menarik untuk dipotret. Mirip seperti di Lombok atau di Venezia di Italia. Sayang, masih banyak sampah mengambang di tepi laut. Bau tak sedap membuatku segera melanjutkan perjalanan ke arah timur. Setidaknya aku bisa menitip pesan untuk pak Camat Kwanyar, bahwa perahu parkir ini bisa dijadikan obyek wisata. Suatu saat nanti.

Ban motorku kembali bergerak. Di pertigaan ke arah Modung, kami belok kiri. Tak lama keramaian menyambut kedatangan kami. Pasar Baru Kwanyar. Di depannya berdiri masjid terkenal: Masjid Sunan Cendana. Di belakangan Masjid ini bersemayam penyebar agama Islam di daerah Kwanyar. Sunan Cendana bernama asli Syeikh Zainal Abidin. Ia keturunan ke-25 dari Nabi Muhammad dan merupakan cucu dari Sunan Ampel. Dijuluki Sunan Cendana karena ia bertapa di pohon cendana, sehingga masyarakat menyebutnya Sunan Cendana.

Kami tidak masuk ke makam, cukup berdiri di depan masjid. Tak lupa kami berfoto. Tempat ini adalah destinasi wajib bagi yang ingin berwisata religi di Madura. Aku juga sering datang ke tempat ini bersama rombongan Dhiba’an desa Kebun.

Kami melanjutkan perjalanan ke desa Karang Entang. Tempat Aldi — teman anggota Plat-M – menunaikan tugas KKN.

Dari jalan yang beraspal halus, berubah menjadi aspal kasar hingga akhirnya kami menyusuri jalan aspal yang sudah rusak. Di pinggir ruas jalan sudah terdapat onggokan batu kerikil yang pasir, sepertinya sebentar lagi jalan akses menuju desa Karang Entang ini akan diperbaiki. Jalan bergelombang membuat sepeda motor kami bekerja lebih ekstra. Kami sedikit terhibur dengan pemandangan yang bagus di sekitar jalanan yang kami lewati. Sawah yang sudah menguning terhampar di kanan dan kiri. Aku terus mengikuti Aldi, di belakangku dengan setia Anam, Raden dan Riska mengikuti kemana aku pergi.

Setelah sekitar lima belas menit, kami berhenti di rumah seorang warga. Seorang bapak menyambut kedatangan kami. Ia begitu ramah. Karena tidak mengenakan baju, bapak itu lantas ke dalam rumah untuk mengenakan kemeja. Begitulah hobi orang Madura, jika sudah santai di rumah, lebih baik buka baju. Jelas ini hanya untuk kaum pria saja.

Tidak lama seorang perempuan setengah baya menyambut kami. Ia bernama Ummi Kultsum, pengusaha berbagai macam olahan yang dijadikan camilan khas Madura. Lorjuk goreng, petis lorjuk dan kripik Gayam adalah andalan usaha keluarga ini. Inilah sumber rejeki mereka. Sehingga CV mereka di namakan Sumber Rejeki.

Saat kami datang, beberapa pekerja sedang melakukan aktivitasnya. Di halaman rumah lorjuk dijemur agar kering kemudian di goreng sehingga mempunyai nilai jual. Aku sedikit kaget ketika mengetahui harga sekilo lorjuk goreng bisa ditukar dengan tujuh gelas kopi Starbucks varian paling mahal. Usaha yang dirintis Ummi Kultsum dan keluarga ini membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga di sekitarnya. Jika mereka libur bertani, para tetangga berlomba mencari Lorjuk dan Gayam untuk kemudian dijual ke Ummi Kultsum dan dijadikan produk siap jual.

Hingga saat ini, produk mereka sudah dipasarkan hingga ke Sumenep bahkan Sidoarjo. Ibu Ummi Kultsum mengklaim usaha kripik Gayam mereka adalah yang terbesar di Madura. Meski begitu ia tetap tampil sederhana tak mencerminkan pengusaha kaya raya. Omzet puluhan juta rupiah mereka raih dalam sebulan. Jelas itu jumlah yang sangat banyak jika melihat demografi penghasilan warga di desa Karang Entang yang mayoritas petani.

Itulah Ummi Kultsum, pengusaha sukses dari Kwanyar dan memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ia mengatakan tidak ingin desanya hanya terkenal sebagai desa petani saja. Ia ingin desanya juga terkenal berkat usaha-usaha yang dilakukan warganya. Jelas, ia telah mempraktekkan konsep Menduniakan Madura. Meski dalam lingkup desa, tapi hal seperti ini menurutku: amazing sekali!

Petualangan di Kwanyar ditutup dengan bersantai ria di pinggir sawah desa Karang Entang, terasa begitu spesial karena sambil menyantap petis yang dibuat di desa ini, yaitu petis Lorjuk.

Pantai Rongkang, Sunan Cendana dan Karang Entang adalah segilintir keunggulan yang dimiliki kecamatan Kwanyar. Aku masih sangat yakin, masih banyak yang bisa diekplorasi dari kecamatan ini. Jika di Kwanyar saja ada lima potensi, maka di seluruh Bangkalan, dengan total 17 kecamatan, akan ada 185 potensi yang bisa dijadikan branding.

Hari ini kita belajar dari warga Kwanyar, mereka sudah bekerja keras memajukan desanya. Sekarang kita tunggu pemerintah. Jika pemerintah tidak mau berlari bersama-sama warganya, mengejar ketertinggalan, maka warga yang akan meninggalkan pemerintahnya. Begitu istilah dari Pak Anies Baswedan.

Terimakasih, Kwanyar!


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

1 Comment

Fahmi (catperku) · August 19, 2015 at 23:14

di foto yang seperti lagi dijemur itu apa ya? Ikan teri kah?

Berikan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.