Catatan KKN : Tentang Pendidikan dan Masa Depan

Published by ALAM on

“Pak Wahyu, Kelas 2 MA saat ini sedang kosong, gurunya tidak masuk ada keperluan ke Surabaya, silahkan Pak diisi.” Panggil Kepala MTs yang selalu siaga di kantor setiap hari, meski beliau Kepala MTs tetapi juga memperhatikan kondisi kelas anak didik di MA yang letakknya bersebelahan dengan letak ruangan MTs, yang memisahkan keduanya adalah ruang guru yang berada di dua gedung MA dan MTs. Aku bergegas berjalan menuju kelas 2 MA. “Assalamualaikum…” seruku sambil masuk ke dalam kelas. “Waalaikumsalam Warohamatulllahi Ta’ala Wabarakatuh” serentak kelas tiga menjawab salamku kompak.  Agak sedikit kaget ketika aku mendapati bahwa seluruh siswa kelas 3 MA ini adalah perempuan semua dengan jumlah hanya 8 orang. Semuanya berkerudung putih dengan seragam abu-abu.

Ini adalah pertamakalinya aku masuk ke kelas 2 MA. Setelah memperkenalkan diri, aku memberikan sedikit motivasi tentang begitu pentingnya pendidikan, memberikan semangat agar mereka tidak berhenti sekolah, seperti kebanyakan teman-teman sekelasnya. Siang itu aku mengajar Geografi, meskipun aku bukan dari latarbelakang orang yang kuliah ilmu Geografi, tapi pelajaran ini adalah pelajaran favoritku setelah Matematika ketika kelas 3 SMP.  Jadi setidaknya masih ada sisa-sisa pelajaran yang masuk ketika kelas 3 SMP.

Sedikit dimudahkan dengan adanya LKS Geografi yang dimiliki setiap siswa. Siang itu kebetulan pelajaran tentang kejadian alam, mulai dari bencana alam sampai bencana yang ditimbulkan oleh manusia. Aku sedikit berbagi kepada mereka dengan metode “curhat” atau interaksi dua arah, saling tanya jawab. Sehingga tidak terasa waktu sudah berputar sangat cepat. Pertemuan aku tutup dengan salam, kemudian aku bergegas ke mejaku untuk membereskan tas dan peralatan mengajar. Aku melihat jurnal kelas lupa belum aku isi di atas meja guru.  Murid-murid tidak berani keluar kelas, jika gurunya tidak keluar kelas. Akhirnya aku manfaatkan ‘budaya’itu dengan mengabsen kelas (seharusnya ini dilakukan pada saat awal pertemuan).

“Mahmudah… ” tanyaku menyebut satu persatu siswa. Tiba-tiba ketika menyebut salah satu nama serentak menjawab “Ambu kak!”-Ambu dalam bahasa Indonesia artinya berhenti-, “Kenapa kok ambu?”. “Sudah nikah, kak!” “Oiya?”. Kemudian satu siswa nyletuk “Ya kak, nikah dengan Kepala Sekolah MTs”. Dia menyebut Kepala Sekolah MTs dengan nada turun setengah berbisik.  “Oiya? Ya sudah biarkan saja!” jawabku tenang padahal dalam hati aku kaget luar biasa. “teman yang nikah, biarkan mereka. Tapi usahakan kalian jangan mengikuti hal seperti itu, masa depan kalian masih panjang. Tetaplah bersekolah untuk menggapai impianmu!” nasehatku seperti guru beneran saja.

Cerita tentang siswi yang berhenti sekolah karena alasan menikah memang sudah biasa terjadi di lingkungan desa di Pamekasan bahkan di Madura. Di tempatku bertugas  mengajar saja setidaknya ada 6 siswa setiap semesternya yang berhenti sekolah, maka tidak heran jika jumlah siswa-siswi di kelas semakin sedikit. Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan tindakan Kepala Sekolah yang menikahi seorang siswi kelas 2 MA. Kejadian itu setidaknya memberikan doktrin kepada anak didiknya kalau menikah muda adalah jalan yang terbaik bagi dia dan masa depannya. Menurut beberapa informan mengatakan keluarga yang punya anak perempuan yang sudah remaja, pasti akan menikahkan putrinya itu diusia yang harusnya masih duduk di bangku sekolah dengan laki-laki “mapan” yang meminangnya. Keluarga itu beralasan “mompong ghi’ pajuh” –mumpung masih laku-, jadi mereka segera menikahkan putrinya itu. Bahkan ada yang membuatku sangat terkejut mendengarnya kalau ada banyak “bunga desa” di pedalaman seperti di Rangperang Laok ini sudah ada yang memesannya. Kebanyakan dari pemesan “bunga desa” ini adalah pria mapan seperti yang sudah bekerja baik PNS, Tentara, dsb.  Namun menurutku itu semua tentang pemahaman warga pedalaman (di Madura khususnya) yang kurang baik. Remaja desa baik perempuan maupun laki-laki seharusnya punya hak untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Pemerintah setempat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pamekasan mungkin ada baiknya jika memberikan peraturan atau himbauan kepada masyarakat terpencil bahwasanya pendidikan bagi anak itu sangat penting. Meski berkeluarga sama pentingya, tapi setidaknya ada sebuah pemahaman yang kurang baik dengan mengatasnamakan kepentingan pribadi yang mungkin beralasan mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.

Ingin rasanya berbuat sesuatu meski itu pasti tidak seberapa efektif bagi masyarakat disini. Maka kelompokku, kelompok 14 ingin berhenti menghujat kegelapan tetapi menyalakan lilin itu setidaknya akan lebih baik daripada gelap gulita –Quote by Indonesia Mengajar-. Program kerja memberikan penyuluhan akan pentingnya pendidikan bagi anak menjadi satu proker yang sangat penting menurut kami dan masyarakat di Rangperang Laok tentu saja.


ALAM

blogger and founder @plat_m, think about Indonesia, act in Madura, studying smart city, community developer, @limaura_'s husband | E: nurwahyualamsyah@gmail.com | LINE: @wahyualam

2 Comments

syafrina · March 2, 2012 at 14:18

oke oke oke. sepakat………………. i’m Madurese too…..

fajar · February 20, 2012 at 19:41

Dengan pendidikan bisa membebaskan hidup kita dar keterpurukan. semangat mas Alam 😀

Leave a Reply

Avatar placeholder